Senin, 23 November 2015

My Neighbor Totoro (Review Film)

Agar bisa dekat ke rumah sakit tempat istrinya menjalani perawatan, Tatsuo Kusakabe (seorang ilmuwan) memboyong kedua anaknya (Satsuki dan Mei) tinggal di sebuah rumah tua di desa. Selama ini, rumah kosong itu selalu diurus oleh seorang nenek yang memiliki cucu bernama Kanta.

Hari pertama keluarga Kusakabe memasuki rumah itu, Satsuki dan Mei dikejutkan oleh banyaknya makhluk berbentuk bola-bola hitam kecil berbulu yang menghuni rumah tersebut. Tatsuo menyebut makhluk itu Makkuro Kurosuke. Sedangkan nenek Kanta menyebutnya Susu-atari (peri jelaga). Mereka hidup di rumah-rumah tua yang kosong, yang selalu menutupi rumah-rumah dengan jelaga dan debu. Menurut nenek Kanta, susu-atari itu akan segera pergi bila si penghuni rumah selalu tersenyum.

Sementara Satsuki sekolah dan Tatsuo sibuk dengan pekerjaannya, Mei bermain sendiri di halaman rumahnya. Mei menemukan biji-biji pohon ek di sepanjang jalan yang ia lalui. Saat itulah Mei melihat dua makhluk kecil kemudian mengikutinya. Dua makhluk itu membawa Mei pada sebuah pohon besar. Mei pun masuk ke lorong penuh akar dari pohon raksasa itu. Di sanalah awal pertemuan Mei dengan Totoro. Makhluk besar berbulu abu-abu. Bahkan, Mei tertidur di tubuhnya. Ketika Mei menceritakan pertemuannya dengan Totoro pada Satsuki dan Tatsuo, mereka tidak percaya.

Jumat, 30 Oktober 2015

The Secret World of Arrietty (Review Film)

The Secret World of Arrietty" (Karigurashi no Arrietty) adalah film produksi dari Studio Ghibli (2010). Film ini diadaptasi dari novel klasik karya Mary Norton yang meraih penghargaan Carnegie Medal pada tahun 1953. Penyutradaraan film ini dipercayakan kepada Hiromasa Yonebayashi. Sedangkan cerita dan skenarionya oleh Hayao Miyazaki dan Keiko Niwa. Film ini sukses meraih banyak penghargaan di negaranya.

Menonton The Secret World of Arrietty, kita disuguhi oleh gambar yang memukau; perpaduan warna yang indah dan hidup. Setiap detailnya terlihat sangat nyata. Misalnya, kamar tidur Arrietty dan kamar mandi (airnya menetes dari pipa yang bocor) dengan segala pernak-pernik yang mereka "pinjam" dari si pemilik rumah yang mereka tumpangi.

Tema cerita dari film ini tidaklah rumit. Jalinan ceritanya sederhana dan mudah diikuti. Tentang pertemanan Sho dan Arrietty serta petualangan mereka berdua dalam menyelamatkan keluarga Arrietty dari kepunahan.


Adalah Arrietty (14 tahun) seorang manusia kecil sebesar jari yang tinggal di bawah rumah tua Bibi Sadako. Arrietty tinggal bersama orang tuanya. Untuk bertahan hidup, mereka selalu mengambil apa pun yang mereka butuhkan dari si pemilik rumah. Mereka menamakan dirinya borrower (peminjam). Sebab, mereka mengambil apa pun yang mereka butuhkan tanpa manusia itu menyadarinya. Tentu saja karena dalam jumlah sangat kecil. Seperti gula, tisu, sabun dan biskuit. Pinjaman pertama yang dilakukan Arrietty pun hanya berupa sebuah jarum pentul yang tercecer, namun buat Arrietty berfungsi sebagai sebuah senjata, yang kelak akan membebaskan ibunya.

Suatu hari, seorang anak laki-laki bernama Sho (12 tahun) datang ke rumah itu. Sho yang menderita jantung bawaan ini sedang menunggu jadwal operasinya. Sho sudah menyadari keberadaan manusia kecil itu saat pertama kali memasuki halaman rumah Bibi Sadako. Pertemuan sekilas itu tidak membuat Sho terkejut dan takut. Sebab, ibu Sho sering menceritakan tentang keberadaan manusia kecil itu. Bahkan, sebuah rumah boneka milik ibu Sho yang ada di sana selama empat generasi adalah sebagai bukti bahwa manusia kecil itu memang ada. Rumah boneka itu dibuat oleh ayah Bibi Sadako sebagai hadiah untuk manusia kecil yang tidak pernah menampakkan dirinya.


Arrietty yang sudah cukup umur merasa senang saat ayahnya mengizinkan dia untuk melakukan peminjaman pertamanya sebagai seorang borrower. Namun, tugas pertamanya itu tidak berhasil. Sho menangkap basah Arrietty saat hendak mengambil tisu. Mereka pun kembali tanpa membawa hasil. Sejak itu, ayah Arrietty memutuskan untuk mencari tempat tinggal baru. Dalam peraturan para borrower, keberadaan mereka tidak boleh diketahui manusia. Saat keberadaan mereka diketahui, mereka dalam bahaya.

Meskipun Sho menunjukkan sikap bersahabat, bahkan memberikan gula batu yang terjatuh saat Arrietty melarikan diri, ayah Arrietty melarangnya. Arrietty mengembalikan gula itu pada Sho dan meminta Sho agar tidak mengganggu mereka. Sementara itu, ayah Arrietty yang bermaksud mencari tempat tinggal baru, mengalami kecelakaaan kecil dan ditolong oleh seorang borrower lain yang bernama Spiller. Spiller juga yang nantinya akan membawa keluarga Arrietty pindah.

Namun, belum sempat mereka pindah, ibu Arrietty ditangkap dan dikurung dalam sebuah botol oleh pembantu Bibi Sadako (Haru), yang memiliki ketertarikan sangat besar akan keberadaan manusia kecil ini. Cerita selanjutnya... tonton saja filmnya! Kita akan dibawa dalam sebuah cerita fantasi dengan petualangan penuh imajinasi.

Sayang, cerita tidak berakhir dengan manis. Namun, ada pesan moral yang kuat dalam film ini. Perjuangan dan keberanian untuk bisa bertahan hidup dalam menghadapi apa pun. Sho belajar hal itu dari Arrietty.

Beberapa karakter dalam film ini yang melekat di benak saya adalah karakter Homily (ibu Arrietty) yang mudah panik dan histeris serta karakter Haru yang usil karena rasa penasarannya yang besar tentang keberadaan manusia kecil itu. Ekspresi Haru yang gagal membuktikan bahwa ada manusia kecil di rumah itu, membuat saya lega dan puas. Di mata saya, Haru itu sangat menyebalkan dan culas. Sesuai dengan wajahnya (he he he). ☺

Saya benar-benar salut dengan film ini. Setiap detail pada film ini benar-benar dipikirkan dengan baik. Misalnya, air untuk kamar mandi si borrower itu dan teko yang mereka gunakan sebagai alat transportasi. Oya, ost dalam film ini sangat indah, walaupun terdengar sendu. (@analydiap07)

Senin, 26 Oktober 2015

Ponyo on the Cliff by the Sea (Review Film)

Sekuat apa pun usaha Fujimoto menentang keinginan Brunhilde (seekor ikan mas) untuk menjadi manusia, sekuat itu pula keinginan sang anak untuk menjadi manusia. Keinginan itu timbul karena Brunhilde telah mencicipi darah Sosuke, seorang anak laki-laki berumur lima tahun, anak dari pasangan Koichi (seorang kapten kapal) dan Lisa (perawat di sebuah panti jompo).

Pertemuan dan pertemanan singkat antara Sosuke dan Brunhilde berawal ketika Brunhilde terjebak di dalam sebuah botol yang terapung di tepi laut. Untuk membebaskan Brunhilde dari botol itu, Sosuke memecahkannya dengan menggunakan batu sehingga menyebabkan jempolnya terluka. Darah dari luka itulah yang Brunhilde jilat sehingga sembuh.

Ternyata, Brunhilde bukanlah ikan mas biasa. Ia bisa berbicara dan memiliki kekuatan magis. Lalu, Sosuke memberi nama ikan mas itu Ponyo. Pertemuan singkat itu telah mendekatkan mereka. Membuat mereka merasa saling memiliki dan menyayangi.


Namun, sang ayah (Fujimoto) yang mantan manusia, membawa kembali Ponyo ke lautan. Mengurung Ponyo dan menggunakan kekuatan ramuan sihirnya agar bisa menghalangi Ponyo menjadi manusia. Fujimato sangat membenci manusia karena menurut Fujimoto, manusia penyebab polusi dan perusak kehidupan di laut.

Dengan bantuan adik-adiknya (sekumpulan ikan mas), Ponyo berhasil melarikan diri, lalu menggunakan ramuan sihir sang ayah sehingga ia memiliki kekuatan yang besar. Tujuan utama Ponyo setelah menjadi manusia adalah menemui Sosuke. Sementara itu, Sosuke pun sangat murung karena kehilangan Ponyo.


Ponyo tidak menyadari bahwa kekuatan yang ia miliki telah menyebabkan ketidakseimbangan alam. Air laut menjadi meluap, badai dan gelombang besar membuat kapal-kapal bertumpuk seperti gunung sehingga mengakibatkan aliran listrik dan telepon menjadi mati. Orang-orang harus mengungsi mencari tempat yang aman karena daratan dipenuhi oleh air laut, layaknya Tsunami. Sementara Ponyo sendiri merasa sangat senang karena bisa bertemu lagi dengan Sosuke dan tinggal di rumahnya.

Merasa tidak bisa mengatasi kekacauan yang dibuat Ponyo, Fujimoto meminta bantuan sang istri yaitu Gran Mamare, seorang dewi laut. Maka, setelah mengatasi kekacauan yang dibuat Ponyo, Gran Mamare membuat kesepakatan dengan Lisa. Jika Ponyo ingin menjadi manusia untuk selamanya, Sosuke harus mengasihi Ponyo seperti Ponyo mengasihi Sosuke. Sosuke harus menerima Ponyo apa adanya. Baik Ponyo sebagai ikan, manusia atau setengah ikan dan manusia. Bila tidak, Ponyo akan kembali menjadi buih, dari mana ia berasal. Hal yang tidak diinginkan Fujimota. Sosuke pun menyanggupinya dan berjanji akan menerima Ponyo apa adanya. Selain itu, Ponyo pun harus bersedia menyerahkan kekuatannya.

Ada banyak pesan moral yang disampaikan dalam film ini. Tentang ketulusan, kasih sayang, saling memiliki, peduli akan sesama dan juga tentang kelestarian lingkungan hidup di lautan.

Bagi pencinta film animasi produksi Studio Ghibli, tentunya sudah tidak aneh lagi dengan alur cerita pada setiap film produksinya. Di film ini pun kita akan melihat, ada begitu banyak kejadian yang tidak masuk akal dan di luar nalar. Perpaduan antara dunia nyata dan fantasi. Namun, itulah yang menarik dari film-film produksi Studio Ghibli. Penuh imajinasi liar, fantasi tingkat tinggi, alur yang tidak biasa serta tokoh utamanya hampir selalu anak-anak atau remaja. Yang pasti, selalu sarat akan pesan moral. Apalagi didukung oleh gambar yang memukau (meskipun menggunakan media 2 dimensi). Di film ini, kita bisa melihat kehidupan di dasar laut yang sangat memanjakan mata. Film ini pun sangat cocok ditonton oleh seluruh keluarga. Sangat menghibur, menyentuh, dan meninggalkan kesan yang mendalam di benak penontonnya.

Buat saya pribadi, Ponyo itu lucu dan menggemaskan. Dengan ember di tangan, lampu di kepala dan handuk di pundak, membuat saya sulit menahan senyum. Cara dia berbicara dan mengulang kalimat yang sama, terlihat polos dan jujur. Saat Ponyo tidur pun manis sekali (tidak memilih tempat he he he).

Salut untuk Hayao Miyazaki, sang sutradara sekaligus penulis cerita dan skenarionya. Dari ide yang sederhana, tercipta karya yang luar biasa. Film ini pun sukses memperoleh beberapa penghargaan. Sejak Spirited Away, saya jatuh cinta berat dengan film-film Studio Ghibli. Yang saya sesalkan, saya tidak bisa menulis cerita anak atau dongeng seperti beliau. Hiks.

Ponyo on the Cliff by the Sea (Gake no Ue no Ponyo) adalah film yang terlalu memukau untuk dilewatkan. Cerita tentang ketulusan mengasihi yang manis dan menyentuh, membuat kita tersenyum lega saat cerita berakhir. ♡♡♡

Selamat menonton! Yang belum punya filmnya, silakan cari di internet.* (@analydiap07)

Selasa, 21 Juli 2015

When Marnie Was There (Review Film)


Diadaptasi dari cerita anak karya penulis asal Inggris Joan G. Robinson, film When Marnie Was There (Omoide no Marnie) adalah film produksi tahun 2014 dari Studio Ghibli. Skenarionya sendiri ditulis oleh sang sutradara, Hiromasa Yonebayashi bersama Keiko Niwa dan Masashi Ando.

When Marnie Was There adalah sebuah film keluarga yang mengangkat tema tentang kasih sayang dan persahabatan yang berbalut misteri. Seperti biasa, film-film animasi produksi Studio Ghibli selalu menampilkan gambar yang artistik dan memanjakan mata.

Film ini menceritakan tentang persahabatan Anna Sasaki (12 tahun, tinggal di Sapporo) dengan Marnie, gadis bule berambut pirang yang cantik dan periang. Ketika Anna dititipkan oleh ibu angkatnya (Yoriko Sasaki) pada keluarga Oiwa di sebuah desa untuk mengobati penyakit asmanya, Anna sering melihat gadis itu di sebuah rumah tua, di tepi rawa. Gadis yang ada dalam mimpinya. Menurut penduduk setempat, rumah itu sudah lama ditinggal penghuninya. Kabar yang beredar pun mengatakan bahwa rumah itu ada hantunya.

Sabtu, 18 Juli 2015

12 Angry Men (Review Film)

Sebagai film klasik yang menggunakan media film hitam putih, film ini sangat menarik untuk ditonton. Film 12 Angry Men adalah film drama Amerika Serikat yang diproduksi pada tahun 1957. Cerita dan skenario film ini ditulis oleh Reginald Rose dan disutradarai oleh Sidney Lumet.

Cerita pada film ini berlatar belakang dunia peradilan. Tepatnya sebuah film tentang persidangan yang menetapkan 12 juri terpilih (dipanggil melalui surat) untuk berembuk dan memutuskan bersalah atau tidaknya seorang anak muda 18 tahun yang dituduh membunuh ayahnya. Meskipun ada dua orang saksi kunci dan barang bukti yang memberatkan, ternyata tidak semudah itu menetapkan seseorang dinyatakan bersalah. Perlu suara bulat untuk memutuskan hasil akhirnya.

Setelah mengikuti jalannya persidangan selama enam hari, kedua belas juri ini berkumpul dalam sebuah ruangan (ruang juri) yang dikunci dari luar. Perdebatan dan konflik dimulai saat seorang juri #8 (Henry Fonda) memutuskan anak muda itu tak bersalah. Bukan mutlak tidak bersalah, tapi karena ada unsur keraguan dan perlu waktu untuk mengkajinya kembali.


Pernyataannya itu membuat juri lainnya tidak terima, bahkan ada beberapa juri yang berang. Alhasil, selama film berlangsung, ruangan itu dipenuhi dengan perdebatan dan adu argumen yang seru. Bayangkan, dua belas orang yang tidak saling mengenal, dengan latar belakang, profesi, karakter dan pemikiran berbeda, membuat ruang juri yang sudah panas semakin panas. Masing-masing mengungkapkan pendapatnya tentang keputusan yang mereka ambil. Detail-detail yang dianggap sepele dan tak terpikirkan pun dibicarakan. Dari barang bukti, waktu, latar belakang kedua saksi kunci serta tempat kejadian peristiwa.

Adegan saat juri #3 (Lee J. Cobb) tersulut emosinya 

Sebenarnya, 12 Angry Men adalah sebuah film drama dengan cerita yang sederhana. Namun, dengan didukung oleh kekuatan akting pemainnya, cerita dan skenario yang kuat dan dialog-dialog yang cerdas, menjadikan film ini sangat luar biasa. Jalan ceritanya mengalir dan mudah diikuti.

Banyak kejutan yang menarik dalam film ini. Kita akan melihat, bagaimana proses perubahan jumlah suara bisa terjadi. Perlahan, tetapi meyakinkan, juri #8 ini mengubah pandangan para juri lainnya. Sangat masuk akal dan benar-benar memikat! Wajar bila 12 Angry Men dipilih sebagai film yang harus dilestarikan di Amerika Serikat National Film Registry oleh Library of Congress sebagai "budaya, historis atau estetis signifikan".


Yang belum menonton film ini, buruan deh cari filmnya! Percaya deh, nggak cukup sekali menontonnya. Film ini benar-benar keren. Buat saya, ini film jadul pertama yang saya tonton dan suka, suka, suka! Ada satu adegan yang membuat saya kagum, saat hanya empat juri lagi yang tetap dengan keputusan bersalahnya. Namun, karena sesuatu yang dipakainya, seorang juri #4 (E.G. Marshall) akhirnya.... Tonton aja, deh! Pokoknya dijamin memuaskan.

Film ini pun mengingatkan kepada kita agar tidak terburu-buru dalam mengambil suatu keputusan sebelum mempertimbangkannya dari segala sudut pandang. Apalagi dalam hal ini, menyangkut nyawa seseorang yang harus mereka tentukan dalam waktu lima menit! (@analydiap07)

Minggu, 21 Juni 2015

Omelan yang Manis (Padang Ekspres 7 Juni 2015)

Padang Ekspres

Mei menggeliat dengan malas. Untuk kesekian kali ia menguap lebar-lebar. Matanya masih terasa berat untuk dibuka. Andai Bunda tidak membangunkannya.

Mei heran, sepertinya Bunda tidak suka melihat anaknya beristirahat dengan tenang dan nyaman. Sepagi ini, saat ayam jantan baru saja berkokok, Bunda selalu saja mengusiknya dengan celoteh panjang yang selalu berulang setiap pagi. Mirip petasan! Tidak terkecuali hari Minggu. Uh, kapan sih Bunda membiarkan anaknya menikmati tidur nyaman sampai siang?

"Bangun, Mei, jangan malas begitu, Nak! Nanti rejekimu dipatok ayam. Malu dong keduluan bangun sama ayam," Bunda menepuk pantatnya berkali-kali. Melihat Mei tidak bereaksi, Bunda menarik selimut Mei

Catatan Kecil "Omelan yang Manis"

Sejujurnya–buat saya yang baru belajar–menulis cerita anak tidak mudah. Karena saya sudah terbiasa  dengan cerpen remaja, alhasil, tidak cukup sekali saya harus mengedit cernak saya. Terutama untuk pemilihan kata yang sederhana dan bisa dimengerti anak-anak. Pemenggalan kalimat yang terlalu panjang pun saya lakukan. Saya juga berusaha untuk tidak boros dalam menggunakan kata ganti seperti "nya".

Omelan yang Manis adalah cernak kedua saya yang dimuat di media. Ceritanya umum dan sederhana sekali. Yang berhasil saya catat dari tulisan saya kali ini adalah: tak ada satu kata pun yang dibuang. Cuma, ada satu baris kalimat yang ditambah oleh editornya untuk melengkapi kalimat saya yang belum selesai. Sayangnya, penambahan kalimat itu rancu (mungkin juga editornya salah ketik). Selain itu, ada beberapa alinea yang diubah. Cernak yang saya pos di sini adalah cernak yang saya kirim. Untuk perbandingan, bisa baca di sini.

Harapan saya, ke depannya, bisa menulis cernak lebih baik lagi dan bisa lebih produktif. Amin. (@analydiap07)

Rabu, 29 April 2015

Sebuah Rumah untuk Livi (Majalah Gadis 7 April 2015)

Cerpen ini dimuat di Majalah Gadis Edisi 7 April 2015
Livi selalu berharap, keajaiban akan datang tahun ini. Hampir setiap akhir tahun; ketika malam pergantian tahun; saat keluarga besar Papanya berkumpul dan berdoa bersama, doanya tidak pernah berubah: keajaiban akan datang untuk dia dan Papa. Doa Livi sendiri adalah: Mama akan berkumpul kembali dengannya dan Papa. Mereka akan kembali menjadi keluarga kecil yang utuh dan bahagia.

Sejak Mama memutuskan untuk berpisah dengan Papa dua tahun lalu, Livi merasa menjadi gadis tidak beruntung. Ia berubah jadi pendiam, tertutup dan membatasi diri. Ia cenderung tak percaya pada kebaikan dan perhatian orang lain padanya. Ia menjadi terbiasa untuk tidak percaya pada siapa pun. Keluarga yang tidak utuh serta kekecewaan pada orang terkasih yang merenggut kebahagiaan dan keceriaan masa remajanya, membuat Livi tidak percaya bahwa cinta itu menghangatkan seperti matahari setelah hujan; seperti yang sering Mama katakan padanya. Dulu. Tepatnya setelah sebuah keluarga yang harmonis, utuh dan penuh dengan cinta kasih terenggut dari kehidupannya. Saat gadis remaja seusianya perlu teman berbagi banyak hal dan sangat butuh perhatian serta kasih sayang dari seorang perempuan yang dipanggil mama.

Sampai sekarang Livi masih belum mengerti: mengapa orang dewasa begitu egois? Baru setahun berpisah, Mama sudah menikah lagi dengan kekasih di masa SMA-nya dulu. Apa pun alasan Mama-Papa menikah–kata Mama karena dijodohkan orang tua– toh sudah ada dirinya sebagai buah cinta mereka. Setidaknya lima belas tahun bersama tentunya banyak kenangan dan momen manis yang terjadi. Tetapi, Mama lebih memilih meninggalkan dia dan Papa. Hanya untuk mengejar cinta masa mudanya.


--- alp ---

Tentang "Sebuah Rumah untuk Livi"

Berawal dari tweet sorang pemilik "Triangular Labyrinth" (terima kasih Kakak Loomie), saya tahu bahwa cerpen saya dimuat di Gadis. Antara senang dan surprise karena "Sebuah Rumah untuk Livi" baru saya kirim bulan Februari lalu dan awal bulan April sudah tercetak manis di Gadis.

Sejak awal, "Sebuah Rumah untuk Livi" saya tulis khusus untuk Gadis. Mungkin karena saya tulis pakai hati dan perasaan (lebay), makanya cerita itu mengalir dengan lancar. Dan, perjuangan untuk memperoleh bukti terbitnya benar-benar menguras waktu dan tenaga. Hari Sabtu saya berburu majalah Gadis. Dua lapak di Pasar Antri, Yogya Kepatihan, TB Tisera, Cikapundung sampai Alun-Alun Timur semuanya saya datangi dan hasilnya nihil. Semuanya habis. Waduh, saya sempat frustrasi. Jadi ingat pengalaman pertama saya waktu "Orang Ketiga" dimuat di Hai. Saya tidak mau hal itu terulang lagi.

Jumat, 16 Januari 2015

Ketika Ibu Mogok Cerewet (Suara Merdeka 30 Maret 2014)

Cernak ini dimuat di Suara Merdeka 30 Maret 2014
"Lukas, tasmu jangan kamu lemparkan ke kursi! Jangan lupa juga simpan sepatumu di lemari sepatu!" teriak Ibu dari dapur begitu Lukas baru saja menyandarkan tubuhnya di kursi.  

Lukas urung melempar tasnya ke kursi. Ukh, Ibu membuat siang yang panas dan gerah semakin menambah panas hati Lukas saja dengan teriakannya yang selalu melarang dan menyuruh ini-itu. Setahu Lukas, ibu teman-temannya tidak ada yang secerewet Ibu.

"Lukas ...!" teriak Ibu lagi.

"Iya, Bu, iya. Lukas heran, deh, setiap hari Ibu selalu saja mengomel dan melarang ini-itu. Ibu teman-teman Lukas juga nggak ada yang secerewet Ibu," gerutu Lukas, menyela kata-kata Ibu seraya bangkit begitu melihat Ibu muncul di ambang pintu.

Ibu menghela napas dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Lukas memang sulit diatur, sembrono, dan pemalas, sehingga kerap membuat Ibu kesal. Entah bagaimana lagi agar Lukas berubah. Padahal, Ibu melakukannya untuk kebaikannya juga, tapi Lukas selalu menganggap Ibu cerewet. Lukas harus kena batunya dulu agar sadar, batin Ibu. 

Seperti biasa, Lukas selalu sibuk bila hendak pergi sekolah.  

"Ibu, kaus kakiku di mana?" tanya Lukas berteriak.

"Kemarin kamu simpan di mana?" Ibu balik bertanya seraya menyiapkan sarapan pagi, tapi ibu tidak mengomel dan ikut sibuk mencari seperti biasa.