Jumat, 30 Oktober 2015

The Secret World of Arrietty (Review Film)

The Secret World of Arrietty" (Karigurashi no Arrietty) adalah film produksi dari Studio Ghibli (2010). Film ini diadaptasi dari novel klasik karya Mary Norton yang meraih penghargaan Carnegie Medal pada tahun 1953. Penyutradaraan film ini dipercayakan kepada Hiromasa Yonebayashi. Sedangkan cerita dan skenarionya oleh Hayao Miyazaki dan Keiko Niwa. Film ini sukses meraih banyak penghargaan di negaranya.

Menonton The Secret World of Arrietty, kita disuguhi oleh gambar yang memukau; perpaduan warna yang indah dan hidup. Setiap detailnya terlihat sangat nyata. Misalnya, kamar tidur Arrietty dan kamar mandi (airnya menetes dari pipa yang bocor) dengan segala pernak-pernik yang mereka "pinjam" dari si pemilik rumah yang mereka tumpangi.

Tema cerita dari film ini tidaklah rumit. Jalinan ceritanya sederhana dan mudah diikuti. Tentang pertemanan Sho dan Arrietty serta petualangan mereka berdua dalam menyelamatkan keluarga Arrietty dari kepunahan.


Adalah Arrietty (14 tahun) seorang manusia kecil sebesar jari yang tinggal di bawah rumah tua Bibi Sadako. Arrietty tinggal bersama orang tuanya. Untuk bertahan hidup, mereka selalu mengambil apa pun yang mereka butuhkan dari si pemilik rumah. Mereka menamakan dirinya borrower (peminjam). Sebab, mereka mengambil apa pun yang mereka butuhkan tanpa manusia itu menyadarinya. Tentu saja karena dalam jumlah sangat kecil. Seperti gula, tisu, sabun dan biskuit. Pinjaman pertama yang dilakukan Arrietty pun hanya berupa sebuah jarum pentul yang tercecer, namun buat Arrietty berfungsi sebagai sebuah senjata, yang kelak akan membebaskan ibunya.

Suatu hari, seorang anak laki-laki bernama Sho (12 tahun) datang ke rumah itu. Sho yang menderita jantung bawaan ini sedang menunggu jadwal operasinya. Sho sudah menyadari keberadaan manusia kecil itu saat pertama kali memasuki halaman rumah Bibi Sadako. Pertemuan sekilas itu tidak membuat Sho terkejut dan takut. Sebab, ibu Sho sering menceritakan tentang keberadaan manusia kecil itu. Bahkan, sebuah rumah boneka milik ibu Sho yang ada di sana selama empat generasi adalah sebagai bukti bahwa manusia kecil itu memang ada. Rumah boneka itu dibuat oleh ayah Bibi Sadako sebagai hadiah untuk manusia kecil yang tidak pernah menampakkan dirinya.


Arrietty yang sudah cukup umur merasa senang saat ayahnya mengizinkan dia untuk melakukan peminjaman pertamanya sebagai seorang borrower. Namun, tugas pertamanya itu tidak berhasil. Sho menangkap basah Arrietty saat hendak mengambil tisu. Mereka pun kembali tanpa membawa hasil. Sejak itu, ayah Arrietty memutuskan untuk mencari tempat tinggal baru. Dalam peraturan para borrower, keberadaan mereka tidak boleh diketahui manusia. Saat keberadaan mereka diketahui, mereka dalam bahaya.

Meskipun Sho menunjukkan sikap bersahabat, bahkan memberikan gula batu yang terjatuh saat Arrietty melarikan diri, ayah Arrietty melarangnya. Arrietty mengembalikan gula itu pada Sho dan meminta Sho agar tidak mengganggu mereka. Sementara itu, ayah Arrietty yang bermaksud mencari tempat tinggal baru, mengalami kecelakaaan kecil dan ditolong oleh seorang borrower lain yang bernama Spiller. Spiller juga yang nantinya akan membawa keluarga Arrietty pindah.

Namun, belum sempat mereka pindah, ibu Arrietty ditangkap dan dikurung dalam sebuah botol oleh pembantu Bibi Sadako (Haru), yang memiliki ketertarikan sangat besar akan keberadaan manusia kecil ini. Cerita selanjutnya... tonton saja filmnya! Kita akan dibawa dalam sebuah cerita fantasi dengan petualangan penuh imajinasi.

Sayang, cerita tidak berakhir dengan manis. Namun, ada pesan moral yang kuat dalam film ini. Perjuangan dan keberanian untuk bisa bertahan hidup dalam menghadapi apa pun. Sho belajar hal itu dari Arrietty.

Beberapa karakter dalam film ini yang melekat di benak saya adalah karakter Homily (ibu Arrietty) yang mudah panik dan histeris serta karakter Haru yang usil karena rasa penasarannya yang besar tentang keberadaan manusia kecil itu. Ekspresi Haru yang gagal membuktikan bahwa ada manusia kecil di rumah itu, membuat saya lega dan puas. Di mata saya, Haru itu sangat menyebalkan dan culas. Sesuai dengan wajahnya (he he he). ☺

Saya benar-benar salut dengan film ini. Setiap detail pada film ini benar-benar dipikirkan dengan baik. Misalnya, air untuk kamar mandi si borrower itu dan teko yang mereka gunakan sebagai alat transportasi. Oya, ost dalam film ini sangat indah, walaupun terdengar sendu. (@analydiap07)

Senin, 26 Oktober 2015

Ponyo on the Cliff by the Sea (Review Film)

Sekuat apa pun usaha Fujimoto menentang keinginan Brunhilde (seekor ikan mas) untuk menjadi manusia, sekuat itu pula keinginan sang anak untuk menjadi manusia. Keinginan itu timbul karena Brunhilde telah mencicipi darah Sosuke, seorang anak laki-laki berumur lima tahun, anak dari pasangan Koichi (seorang kapten kapal) dan Lisa (perawat di sebuah panti jompo).

Pertemuan dan pertemanan singkat antara Sosuke dan Brunhilde berawal ketika Brunhilde terjebak di dalam sebuah botol yang terapung di tepi laut. Untuk membebaskan Brunhilde dari botol itu, Sosuke memecahkannya dengan menggunakan batu sehingga menyebabkan jempolnya terluka. Darah dari luka itulah yang Brunhilde jilat sehingga sembuh.

Ternyata, Brunhilde bukanlah ikan mas biasa. Ia bisa berbicara dan memiliki kekuatan magis. Lalu, Sosuke memberi nama ikan mas itu Ponyo. Pertemuan singkat itu telah mendekatkan mereka. Membuat mereka merasa saling memiliki dan menyayangi.


Namun, sang ayah (Fujimoto) yang mantan manusia, membawa kembali Ponyo ke lautan. Mengurung Ponyo dan menggunakan kekuatan ramuan sihirnya agar bisa menghalangi Ponyo menjadi manusia. Fujimato sangat membenci manusia karena menurut Fujimoto, manusia penyebab polusi dan perusak kehidupan di laut.

Dengan bantuan adik-adiknya (sekumpulan ikan mas), Ponyo berhasil melarikan diri, lalu menggunakan ramuan sihir sang ayah sehingga ia memiliki kekuatan yang besar. Tujuan utama Ponyo setelah menjadi manusia adalah menemui Sosuke. Sementara itu, Sosuke pun sangat murung karena kehilangan Ponyo.


Ponyo tidak menyadari bahwa kekuatan yang ia miliki telah menyebabkan ketidakseimbangan alam. Air laut menjadi meluap, badai dan gelombang besar membuat kapal-kapal bertumpuk seperti gunung sehingga mengakibatkan aliran listrik dan telepon menjadi mati. Orang-orang harus mengungsi mencari tempat yang aman karena daratan dipenuhi oleh air laut, layaknya Tsunami. Sementara Ponyo sendiri merasa sangat senang karena bisa bertemu lagi dengan Sosuke dan tinggal di rumahnya.

Merasa tidak bisa mengatasi kekacauan yang dibuat Ponyo, Fujimoto meminta bantuan sang istri yaitu Gran Mamare, seorang dewi laut. Maka, setelah mengatasi kekacauan yang dibuat Ponyo, Gran Mamare membuat kesepakatan dengan Lisa. Jika Ponyo ingin menjadi manusia untuk selamanya, Sosuke harus mengasihi Ponyo seperti Ponyo mengasihi Sosuke. Sosuke harus menerima Ponyo apa adanya. Baik Ponyo sebagai ikan, manusia atau setengah ikan dan manusia. Bila tidak, Ponyo akan kembali menjadi buih, dari mana ia berasal. Hal yang tidak diinginkan Fujimota. Sosuke pun menyanggupinya dan berjanji akan menerima Ponyo apa adanya. Selain itu, Ponyo pun harus bersedia menyerahkan kekuatannya.

Ada banyak pesan moral yang disampaikan dalam film ini. Tentang ketulusan, kasih sayang, saling memiliki, peduli akan sesama dan juga tentang kelestarian lingkungan hidup di lautan.

Bagi pencinta film animasi produksi Studio Ghibli, tentunya sudah tidak aneh lagi dengan alur cerita pada setiap film produksinya. Di film ini pun kita akan melihat, ada begitu banyak kejadian yang tidak masuk akal dan di luar nalar. Perpaduan antara dunia nyata dan fantasi. Namun, itulah yang menarik dari film-film produksi Studio Ghibli. Penuh imajinasi liar, fantasi tingkat tinggi, alur yang tidak biasa serta tokoh utamanya hampir selalu anak-anak atau remaja. Yang pasti, selalu sarat akan pesan moral. Apalagi didukung oleh gambar yang memukau (meskipun menggunakan media 2 dimensi). Di film ini, kita bisa melihat kehidupan di dasar laut yang sangat memanjakan mata. Film ini pun sangat cocok ditonton oleh seluruh keluarga. Sangat menghibur, menyentuh, dan meninggalkan kesan yang mendalam di benak penontonnya.

Buat saya pribadi, Ponyo itu lucu dan menggemaskan. Dengan ember di tangan, lampu di kepala dan handuk di pundak, membuat saya sulit menahan senyum. Cara dia berbicara dan mengulang kalimat yang sama, terlihat polos dan jujur. Saat Ponyo tidur pun manis sekali (tidak memilih tempat he he he).

Salut untuk Hayao Miyazaki, sang sutradara sekaligus penulis cerita dan skenarionya. Dari ide yang sederhana, tercipta karya yang luar biasa. Film ini pun sukses memperoleh beberapa penghargaan. Sejak Spirited Away, saya jatuh cinta berat dengan film-film Studio Ghibli. Yang saya sesalkan, saya tidak bisa menulis cerita anak atau dongeng seperti beliau. Hiks.

Ponyo on the Cliff by the Sea (Gake no Ue no Ponyo) adalah film yang terlalu memukau untuk dilewatkan. Cerita tentang ketulusan mengasihi yang manis dan menyentuh, membuat kita tersenyum lega saat cerita berakhir. ♡♡♡

Selamat menonton! Yang belum punya filmnya, silakan cari di internet.* (@analydiap07)