Rabu, 07 Desember 2016

From Up on Poppy Hill (Review Film)

From Up on Poppy Hill–rilis pada Juli 2011–adalah satu dari sekian film animasi yang diprodusi oleh Studio Ghibli. Skenarionya ditulis oleh Hayao Miyazaki dan Keiko Niwa berdasarkan cerita komik Jepang Kokuriko-zaka Kara karya Tetsurō Sayama (cerita) dan Chizuro Takahashi (ilustrasi). Sementara yang bertanggung jawab sebagai sutradaranya adalah Gorō Miyazaki.

Berbeda dengan animasi Ghibli umumnya, From Up on Poppy Hill jauh dari hal-hal berbau mistis dan magis yang kerap berkutat di seputar dunia arwah, dewa dan penyihir. Ini tentang kisah cinta remaja yang manis selepas Perang Korea yang terganjal oleh masa lalu orang tua si tokoh utama. Ini film animasi romantis yang terjadi pada tahun 1960-an. Tentang Umi Matsuzaki dan Shun Kazama yang menjadi dekat dan saling menyukai sejak mereka bekerja sama dalam upaya menyelamatkan clubhouse (Latin Quarter) di sekolah mereka yang hendak dirobohkan karena bangunan itu sudah tua, kotor, dan tak terurus.

Umi Matsuzaki (seorang siswa SMA) tinggal di sebuah gedung tua bekas rumah sakit yang masih terawat dengan baik meskipun bangunan itu sudah berumur 60 tahun. Umi tinggal bersama neneknya, dua orang adiknya (Sora dan Riku) serta beberapa orang lainnya. Ada pula Tomoko seorang pembantu paruh waktu. Sementara ibunya, Ryoko, adalah seorang profesor dalam bidang kedokteran dan tengah melanjutkan studinya di Amerika. Sedangkan ayahnya, Yūichirō Sawamura, adalah seorang kapten kapal. Yūichirō meninggal tenggelam bersama kapalnya karena menyentuh ranjau saat Perang Korea berkecamuk. 

Untuk mengenang dan mengobati kerinduannya pada sang ayah–setiap pagi–Umi selalu melakukan ritual mengibarkan bendera. Kebiasaan yang Umi pelajari sejak kecil dari ayahnya untuk membantu para pelaut menuju jalan pulang. Kibaran bendera itu membuat Shun Kazama–siswa klub literatur–tergerak menciptakan puisi tentang Umi dan memuatnya di koran sekolah mereka.


Kedekatan Umi dan Shun berawal saat Sora meminta Umi menemaninya menemui Shun di klub literatur untuk meminta tanda tanganya. Pemimpin klub tersebut Shirō Mizunuma, meminta Umi membantu Shun memotong beberapa stensil. Dari situ, Umi juga memberi ide untuk membersihkan Latin Quarter dan membuatnya menjadi seperti baru.

Sayangnya, hubungan mereka tidak berjalan dengan baik. Ketika Shun dan Shirō diundang ke acara perpisahan Hakuto (seorang dokter) yang tinggal bersama keluarga Matsuzaki, Umi menunjukkan foto ayahnya bersama kedua temannya (Onodera dan Tachibana). Setelah itu, sikap Shun jadi berubah. Selalu menghindari Umi.


Selanjutnya ... penasaran, 'kan? Sebenarnya, apa yang membuat Shun berubah sikap? Berhasilkah mereka menyelamatkan Latin Quarter? Apa yang Umi, Shun dan Shirō lakukan agar Latin Quarter tidak dirobohkan? Rahasia masa lalu apa yang membuat Umi dan Shun tidak bisa bersama? Cerita berakhir dengan .... Tonton saja filmnya!

O ya, saya suka dengan ost pada saat menyambut kedatangan Tokumaru. Kalau yang di akhir cerita bikin sedih, tetapi syahdu. Ini sebagian dari liriknya:

Cinta kemarin adalah air mataku
Yang kering dan menghilang oleh waktu
Cinta esok hanyalah sebuah ulangan
Kata-kata tanpa akhirJika kita bertemu saat senja
Maukah kamu membopongku dengan tanganmu?

Anggota dari klub Astronomi dan Filsafat yang kocak bikin saya tertawa geli. Ah, yang pasti, apa pun ceritanya, saya selalu suka dengan animasi Studio Ghibli. Suka dengan gambarnya yang indah dan detail.☺

Selamat menonton! Selamat menikmati animasi Ghibli di–kali ini–dunia nyata!

Rabu, 30 November 2016

The Whole Truth (Review Film)

Keanu Reeves
Michael Lassiter (Gabriel Basso) adalah seorang remaja SMA berusia 17 tahun, anak dari pasangan Boone Lassiter (Jim Belushi)–seorang pengacara kaya-raya–dan Loretta (Renée Zellweger), dituduh membunuh ayahnya sendiri. Dengan bukti sidik jari yang tertinggal di pisau serta pengakuan yang keluar dari mulutnya sendiri, Mike dituduh melakukan pembunuhan tingkat pertama. Sebagai ibunya, Loretta meminta bantuan seorang pengacara, Richard Ramsay (Keanu Reeves), untuk membebaskan anaknya dari tuduhan tersebut. Dibantu seorang pengacara muda, Jannele Bradley (Gugu Mbatha-Raw), mereka bekerja sama untuk membebaskan Mike dari tuduhan pembunuhan itu.

Namun, selama persidangan berjalan, Mike tidak mau berbicara sepatah kata pun. Sementara hampir semua saksi yang dihadirkan memberikan kesaksian yang menyudutkan dirinya. Sikapnya ini menyulitkan Ramsay dalam melakukan pembelaan.

Selain pengacara yang kaya-raya, Boone Lassiter pun dikenal sebagai suami yang kerap bersikap kasar dan merendahkan istrinya. Ia juga bukan sosok ayah yang baik dan sangat keras pada anaknya. Kenyataan itu pula yang menguatkan dugaan mengapa Mike membunuh Boone

Keluarga Lassiter dan pengacara

Merasa dirinya tak akan terbebas dari tuduhan pembunuhan, Mike mengajukan dirinya sebagai saksi, bahkan sempat memecat Richard Ramsay sebagai pengacaranya. Sebuah kesaksian mengejutkanpun keluar dari mulut Mike.

Sebagian dari para saksi

Yang duduk berderet itu adalah juri
Dengan setting ruang persidangan (seperti juga 12 Angry Men) The Whole Truth memiliki alur yang lambat. Tak ada kejutan atau kejadian-kejadian yang menegangkan dalam film ini. Cerita mengalir dari pernyataan para saksi selama persidangan berlangsung. Tak seorang pun mengatakan yang sebenarnya. Semua punya alasan dan kepentingan sendiri.

Buat saya pribadi, tidak masalah dan tidak membuat saya bosan menonton film ini karena film ini mengingatkan saya pada novel Agatha Christie. Yang membuat saya kagum dan terkejut, ending-nya itu loh. Jauh dari prediksi saya. Saya kira si pembunuhnya .... Alasan itu pula yang membuat Mike tidak mau bicara. Sebuah kasus yang sederhana, tetapi tidak sesederhana itu pemecahannya. 

Penasaran? Tonton saja filmnya.😉


The Whole Truth (El Abogado del Mal) adalah sebuah film drama kriminal yang rilis pada Oktober 2016. Skenarionya ditulis oleh Nicholas Khazan dan penyutradaraannya dipercayakan kepada Courtney Hunt. Sebuah film yang menarik yang sangat sangat layak untuk ditonton. Jauh dari mengecewakan.💕💕💕

Selamat menonton! (@analydiap07)


Rabu, 19 Oktober 2016

Aku dan Agatha

Sang Ratu Cerita Misteri
Sekeras apa pun aku mencoba mengingat peristiwa apa yang mendekatkan aku dengan Agatha, tapi otakku ini tak mau diajak bekerja sama. Kedekatanku dengan Agatha–tepatnya aku merasa mulai menyukainya–saat aku masih sekolah dasar. SD? Iya, SD! Kurasa saat aku kelas lima karena seorang temanku di sekolah Minggu yang mengenalkan aku dengannya.

Aku ingat, temanku ini satu tingkat di atasku. Berarti dia kelas enam SD. Dan, kakak temanku ini–SMA–yang lebih dulu berteman akrab dengan Agatha. Aku rasa dia tergila-gila dengan Agatha. Sebagian waktu senggangnya selalu ia lewatkan bersama Agatha (belakangan aku menyadari mengapa kakak temanku ini bisa tergila-gila pada Agatha). Karena–setelah aku mengenal lebih jauh–Agatha terlalu cerdas dan pandai sekali mengambil hati siapa pun yang mengenalnya. Dia, mengenalkan aku pada teman-temannya.

Teman-teman Agatha–buatku pribadi–adalah teman-teman yang seru dan jauh dari membosankan. Mereka selalu mengikutsertakan aku dalam kehidupan mereka. Tanpa diminta, mereka selalu “memaksaku” untuk berpikir. Aku tahu, mereka tidak pernah meminta bantuanku. Cuma aku berusaha dan ingin sekali bisa membantu atau terlibat dalam setiap kasus yang mereka hadapi. Sayangnya, aku tidak secerdas Agatha dan teman-temannya. Apa yang ada di kepalaku tak pernah bisa membantu memecahkan misteri atau teka-teki yang mereka sodorkan padaku.

Kamis, 19 Mei 2016

Perempuan di Tempat Gelap (Taman Fiksi Edisi 12 / April 2016)

Taman Fiksi 

Seharusnya kulepas saja. Sejak awal, ia tidak menyembunyikan statusnya sebagai suami dengan dua anak. Bukankah itu sebuah alarm peringatan agar aku segera menyingkir dari kehidupannya? Namun, kubiarkan sel-sel di tubuhku kocar-kacir saat bersamanya. Aku tidak mampu mengendalikan perasaanku untuk berhenti dan berharap menjadi perempuan yang menarik untuknya. Keinginan liar yang seharusnya tidak kubiarkan tumbuh dan berakar kuat di hatiku.

Dua gelas lemon tea tersaji di depan kami. Dia terlihat begitu tenang, duduk tepat di hadapanku. Matanya teduh dengan sepasang alis tebal yang tumbuh berjauhan; pertanda bahwa jodohnya orang jauh; bukan dengan kerabat dekatnya, batinku sibuk menyesalkan keputusannya menerima saja dijodohkan. Mungkin dia akan lebih bahagia dan tak akan mengalami situasi seperti saat ini. Melakukan pertemuan diam-diam di belakang lelaki yang punya peran besar dalam kehidupan kami. Seakan ada dorongan kuat yang membuatku menatapnya dengan berani untuk kemudian sibuk menilai dan membandingkan dirinya denganku.

Jumat, 22 April 2016

Catatan Kecil "Perempuan di Tempat Gelap"

"Perempuan di tempat Gelap"  (Taman Fiksi edisi 12 ~ April 2016) adalah cerpen yang saya tulis dua tahun silam. Saat saya membuka folder lama, saya tertarik dengan cerpen ini. Saya baca, saya koreksi lagi takut ada typo atau penulisan kata yang tidak sesuai KBBI dan EYD (untuk dua hal ini saya masih terus belajar). Yang pasti, saya selalu berusaha untuk meminimalkan kesalahan.

Sebenarnya, judul awal cerpen ini bukan "Perempuan di Tempat Gelap". Akhirnya, judul itu saya simpan untuk cerpen yang akan saya tulis, nanti. Maka, saya putuskan untuk mengirimnya ke Taman Fiksi karena media ini menerima semua jenis tulisan. Alasan lainnya juga karena saya ingin meninggalkan jejak tulisan di sana.

Awal Februari saya kirim, awal April sudah terpampang di sana. Setiap kali melihat tulisan saya dimuat di media mana pun– sejujurnya–saya tidak senang, tetapi seneng banget! :)

Untuk cerpen "Perempuan di Tempat Gelap", tidak ada perubahan judul, tanda baca dan susunan kalimatnya. Namun, ada beberapa kesalahan pada pemenggalan kata, yaitu:




- dukungan
- kenyamanan
- ajakan 
- keheningan
- melampiaska(n) ~> kurang n

Tertarik mengirim tulisan ke Taman Fiksi? Ayo, baca dan pelajari cerpen-cerpen yang layak muat di sana! Ada puluhan cerpen yang dimuat tiap bulannya di sana. Untuk yang sekadar suka membaca, cerpen-cerpen Taman Fiksi bisa menemani perjalanan dan mengisi waktu senggang kita di mana pun. Silakan meluncur ke sana dan tentunya harus melakukan registrasi dulu, ya? :) :)

Akhir kata, selamat membaca tulisan saya! Semoga berkenan dan menginspirasi. (@analydiap07)





Sabtu, 12 Maret 2016

Spirited Away (Review Film)

Sukses memboyong Oscar sebagai film animasi terbaik pertama yang meraih penghargaan dalam ajang bergengsi tersebut, membuat Spirited Away (Sen to Chihiro no Kamikakushi) menjadi film tersukses dalam sejarah perfilman Jepang. Bahkan, dua penghargaan lain pun berhasil diraihnya. Wajar bila Spirited Away masuk dalam jajaran film box office karena film ini meraup banyak penonton. Film animasi fantasi produksi studio Ghibli 2001 ini–seperti juga Ponyo, My Neighbor Totoro, dan Howl's Moving Castle–disutradarai oleh Hayao Miyazaki.

Spirited Away berkisah tentang petualangan Chihiro (10 tahun) yang tersesat dan terpaksa tinggal di dunia arwah untuk membebaskan orang tuanya yang berubah menjadi babi karena kelancangan mereka menyantap makanan para arwah.

Minggu, 24 Januari 2016

Di antara Rinai Gerimis (Harian Analisa 3 Januari 2016)

Cerpen ini dimuat di Harian Analisa edisi 3 Januari 2016
Jajaran cemara di samping panti asuhan itu masih berdiri kukuh. Agatha tidak tahu, apakah cemara-cemara itu masih cemara yang sama atau sudah ganti yang baru? Dulu, ia selalu memandang jajaran cemara itu dari jendela kamarnya atau dari aula panti bersama seorang bocah bermata coklat dengan sorot mata teduh. Entah mengapa, sejak awal ia masuk panti ini, ia lebih suka memanggilnya El. Nama sebenarnya Yoel.  

Menurut cerita Bunda Beth, El sudah tinggal di panti ini sejak bayi. Orang tuanya meninggalkan dia di depan panti. Saat Bunda Beth menemukannnya, umur El baru satu minggu; dari secarik data yang diselipkan di pakaian El. Tragis memang! Mungkin karena itu pulalah El tumbuh menjadi anak yang pendiam dan tertutup. Mungkin El merasa tidak pernah diharapkan atau dicintai orang tuanya.

Meski samar, Agatha pun masih ingat, kapan ia masuk panti asuhan ini. Ketika itu usianya masih enam tahun. Kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan pesawat menuju ke Medan. Malangnya, karena tidak ada pihak keluarga yang bisa dihubungi, ia diserahkan pada panti asuhan. Itulah awal perkenalannya dengan El. 

Semula Agatha tidak terlalu mengenal El karena El jarang berkumpul bersama teman-teman panti lainnya. Ia hanya bertemu El saat sarapan pagi, makan siang dan makan malam saja. Dan, Agatha tidak akan mengenal El lebih dekat lagi seandainya mereka tidak menyukai hal yang sama: memandangi miliaran jarum langit saat gerimis turun. Saat itu, saat-saat memandang gerimislah saat-saat yang indah dan menyenangkan buatnya dan El.

Howl's Moving Castle (Review Film)

Howl’s Moving Castle (Howl’s no Ugoku Shiro) adalah film fantasi animasi Studio Ghibli yang dirilis pada tahun 2004 dengan mengambil latar belakang masa peperangan. Film ini diadaptasi dari buku dengan judul yang sama, karya penulis Inggris, Diana Wynne Jones (buku ini telah dicetak dan diterbitkan oleh GPU pada tahun 2009). Sedangkan sutradaranya dipercayakan pada Hayao Miyazaki.

Karena beberapa alur pada buku ini ada yang diubah dan dihilangkan, alhasil antara buku dan film terdapat banyak perbedaan. Namun, ceritanya tetap berpusat pada petualangan Sophie saat ia dikutuk menjadi wanita tua. Seperti biasa, Studio Ghibli selalu memanjakan mata penontonnya dengan gambar yang indah, hidup, karakter-karakter tokohnya yang unik, serta balutan tema mistik dan magis yang kerap mewarnai film-filmnya.

Sophie (18 tahun) adalah gadis pembuat sekaligus pemilik toko topi peninggalan ayahnya. Dalam perjalanan menemui adiknya, Lettie, ia terlibat dalam perseteruan antara Howl dan Penyihir dari Pembuangan. Karena itu, Penyihir dari Pembuangan mengutuknya menjadi nenek-nenek. Malangnya, ia tidak boleh menceritakan kutukan yang menimpanya kepada siapa pun sehingga Sophie memutuskan untuk pergi dari rumahnya. Dari situlah petualangan Sophie dimulai.

Catatan Kecil "Di antara Rinai Gerimis"

Mengapa saya tertarik mengirim tulisan saya ke harian Analisa? Pertama, saya salut dan sedikit “iri” melihat seorang Eva Riyanty Lubis (pemilik "Perfect Day" ini) hampir setiap minggu tulisannya ada di sana. Kedua, saya bisa memantau tulisan saya bila dimuat dari e-paper-nya. Ketiga, saya ingin meninggalkan jejak tulisan saya di sana. :) Sejujurnya, sebagai blogger pemula seperti saya adalah hal yang membahagiakan bisa membagi tulisan saya melalui blog. Sebagai dokumentasi juga, sih.

"Di antara Rinai Gerimis" adalah cerpen ketiga saya tentang gerimis yang dimuat di media (dua majalah remaja dan satu koran). Cerpen ini saya buat akhir Oktober 2013 dan saya kirim ke Analisa pertengahan tahun 2015. Sejak saya kirim ke Analisa, setiap Minggu pagi (begitu bangun tidur) saya selalu mengecek e-paper-nya. Namun, tak pernah ada penampakannya. :(

Pertengahan bulan Januari ini, saya iseng browsing, mungkin ada tulisan saya yang dimuat tanpa pemberitahuan karena ada penambahan sejumlah uang di rekening saya saat saya melakukan penarikan di ATM untuk membeli buku (akhir tahun di Gramedia selalu ada diskon besar-besar). Ternyata, awal tahun ada cerpen saya yang dimuat di harian Analisa. Senang dong? Selalu! Saya cek melalui internet banking. Uang yang masuk pada akhir November. Jadi, .... Sampai sekarang saya belum tahu uang itu dari mana. Melihat jumlahnya sih, kemungkinan cerita anak.

Tidak ada yang sempurna. Begitu pula dengan cerpen saya ini. Seperti biasa, ada beberapa kata yang mengalami pengeditan, yaitu:

1. orang tua  ~>  orangtua

Penulisan kata majemuk atau gabungan kata yang seharusnya dipisah oleh editornya digabung (ada yang bisa bantu, penulisan yang benar karena selalu saya cek kembali di KBBI dan EYD dipisah kok?!).


2. tidak ~> tak

3. sejak lepas ~> selepas

4. milyaran ~> miliaran (terima kasih karena sudah memperbaiki kesalahan saya)

5. Untuk judul, tanda baca dan susunan kalimat tidak mengalami perubahan. Dan, tidak ada satu kata pun yang dibuang (max 6000 karakter, tapi cerpen saya lebih dari 10.000 karakter :D).

Dalam urusan mengurangi jumlah karakter dari tulisan yang sudah jadi adalah hal yang lumayan sulit buat saya. Seperti juga "Orang Ketiga" dan "Andai Nat Tahu", dua cerpen itu tidak sesuai persyaratan medianya, namun saya berterima kasih dan bersyukur karena sang editor tidak memasukkannya ke tong sampah serta tidak mengalami pemangkasan sedikit pun (berimbas pada space untuk ilustrasi).

Sekali lagi, tidak ada yang sempurna. Tapi, saya senang memperbaiki kesalahan yang saya lakukan dan belajar dari kesalahan itu. Sesungguhnya, buat saya, bahasa Indonesia yang baik dan benar itu bikin saya tekanan batin dan frustrasi. 

Selamat membaca! Terima kasih untuk Eva Riyanty Lubis yang sudah mau berbagi.