Minggu, 24 Januari 2016

Di antara Rinai Gerimis (Harian Analisa 3 Januari 2016)

Cerpen ini dimuat di Harian Analisa edisi 3 Januari 2016
Jajaran cemara di samping panti asuhan itu masih berdiri kukuh. Agatha tidak tahu, apakah cemara-cemara itu masih cemara yang sama atau sudah ganti yang baru? Dulu, ia selalu memandang jajaran cemara itu dari jendela kamarnya atau dari aula panti bersama seorang bocah bermata coklat dengan sorot mata teduh. Entah mengapa, sejak awal ia masuk panti ini, ia lebih suka memanggilnya El. Nama sebenarnya Yoel.  

Menurut cerita Bunda Beth, El sudah tinggal di panti ini sejak bayi. Orang tuanya meninggalkan dia di depan panti. Saat Bunda Beth menemukannnya, umur El baru satu minggu; dari secarik data yang diselipkan di pakaian El. Tragis memang! Mungkin karena itu pulalah El tumbuh menjadi anak yang pendiam dan tertutup. Mungkin El merasa tidak pernah diharapkan atau dicintai orang tuanya.

Meski samar, Agatha pun masih ingat, kapan ia masuk panti asuhan ini. Ketika itu usianya masih enam tahun. Kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan pesawat menuju ke Medan. Malangnya, karena tidak ada pihak keluarga yang bisa dihubungi, ia diserahkan pada panti asuhan. Itulah awal perkenalannya dengan El. 

Semula Agatha tidak terlalu mengenal El karena El jarang berkumpul bersama teman-teman panti lainnya. Ia hanya bertemu El saat sarapan pagi, makan siang dan makan malam saja. Dan, Agatha tidak akan mengenal El lebih dekat lagi seandainya mereka tidak menyukai hal yang sama: memandangi miliaran jarum langit saat gerimis turun. Saat itu, saat-saat memandang gerimislah saat-saat yang indah dan menyenangkan buatnya dan El.

Howl's Moving Castle (Review Film)

Howl’s Moving Castle (Howl’s no Ugoku Shiro) adalah film fantasi animasi Studio Ghibli yang dirilis pada tahun 2004 dengan mengambil latar belakang masa peperangan. Film ini diadaptasi dari buku dengan judul yang sama, karya penulis Inggris, Diana Wynne Jones (buku ini telah dicetak dan diterbitkan oleh GPU pada tahun 2009). Sedangkan sutradaranya dipercayakan pada Hayao Miyazaki.

Karena beberapa alur pada buku ini ada yang diubah dan dihilangkan, alhasil antara buku dan film terdapat banyak perbedaan. Namun, ceritanya tetap berpusat pada petualangan Sophie saat ia dikutuk menjadi wanita tua. Seperti biasa, Studio Ghibli selalu memanjakan mata penontonnya dengan gambar yang indah, hidup, karakter-karakter tokohnya yang unik, serta balutan tema mistik dan magis yang kerap mewarnai film-filmnya.

Sophie (18 tahun) adalah gadis pembuat sekaligus pemilik toko topi peninggalan ayahnya. Dalam perjalanan menemui adiknya, Lettie, ia terlibat dalam perseteruan antara Howl dan Penyihir dari Pembuangan. Karena itu, Penyihir dari Pembuangan mengutuknya menjadi nenek-nenek. Malangnya, ia tidak boleh menceritakan kutukan yang menimpanya kepada siapa pun sehingga Sophie memutuskan untuk pergi dari rumahnya. Dari situlah petualangan Sophie dimulai.

Catatan Kecil "Di antara Rinai Gerimis"

Mengapa saya tertarik mengirim tulisan saya ke harian Analisa? Pertama, saya salut dan sedikit “iri” melihat seorang Eva Riyanty Lubis (pemilik "Perfect Day" ini) hampir setiap minggu tulisannya ada di sana. Kedua, saya bisa memantau tulisan saya bila dimuat dari e-paper-nya. Ketiga, saya ingin meninggalkan jejak tulisan saya di sana. :) Sejujurnya, sebagai blogger pemula seperti saya adalah hal yang membahagiakan bisa membagi tulisan saya melalui blog. Sebagai dokumentasi juga, sih.

"Di antara Rinai Gerimis" adalah cerpen ketiga saya tentang gerimis yang dimuat di media (dua majalah remaja dan satu koran). Cerpen ini saya buat akhir Oktober 2013 dan saya kirim ke Analisa pertengahan tahun 2015. Sejak saya kirim ke Analisa, setiap Minggu pagi (begitu bangun tidur) saya selalu mengecek e-paper-nya. Namun, tak pernah ada penampakannya. :(

Pertengahan bulan Januari ini, saya iseng browsing, mungkin ada tulisan saya yang dimuat tanpa pemberitahuan karena ada penambahan sejumlah uang di rekening saya saat saya melakukan penarikan di ATM untuk membeli buku (akhir tahun di Gramedia selalu ada diskon besar-besar). Ternyata, awal tahun ada cerpen saya yang dimuat di harian Analisa. Senang dong? Selalu! Saya cek melalui internet banking. Uang yang masuk pada akhir November. Jadi, .... Sampai sekarang saya belum tahu uang itu dari mana. Melihat jumlahnya sih, kemungkinan cerita anak.

Tidak ada yang sempurna. Begitu pula dengan cerpen saya ini. Seperti biasa, ada beberapa kata yang mengalami pengeditan, yaitu:

1. orang tua  ~>  orangtua

Penulisan kata majemuk atau gabungan kata yang seharusnya dipisah oleh editornya digabung (ada yang bisa bantu, penulisan yang benar karena selalu saya cek kembali di KBBI dan EYD dipisah kok?!).


2. tidak ~> tak

3. sejak lepas ~> selepas

4. milyaran ~> miliaran (terima kasih karena sudah memperbaiki kesalahan saya)

5. Untuk judul, tanda baca dan susunan kalimat tidak mengalami perubahan. Dan, tidak ada satu kata pun yang dibuang (max 6000 karakter, tapi cerpen saya lebih dari 10.000 karakter :D).

Dalam urusan mengurangi jumlah karakter dari tulisan yang sudah jadi adalah hal yang lumayan sulit buat saya. Seperti juga "Orang Ketiga" dan "Andai Nat Tahu", dua cerpen itu tidak sesuai persyaratan medianya, namun saya berterima kasih dan bersyukur karena sang editor tidak memasukkannya ke tong sampah serta tidak mengalami pemangkasan sedikit pun (berimbas pada space untuk ilustrasi).

Sekali lagi, tidak ada yang sempurna. Tapi, saya senang memperbaiki kesalahan yang saya lakukan dan belajar dari kesalahan itu. Sesungguhnya, buat saya, bahasa Indonesia yang baik dan benar itu bikin saya tekanan batin dan frustrasi. 

Selamat membaca! Terima kasih untuk Eva Riyanty Lubis yang sudah mau berbagi.