Minggu, 19 Mei 2019

Aku, Senja, dan Banyak Cerita


Sosok dengan tatapan fajar pagi yang pernah melumpuhkan dan menghangatkan hatiku

Aku suka senja. Suka sekali. Bisa dibilang, aku tergila-gila dengan pemandangan sore hari itu, ketika mentari tenggelam di ufuk barat. Tatkala sisa cahaya mentari berbaur dengan gelap malam yang mulai datang. Menciptakan semburat jingga yang melukis langit dengan sempurna. Menatapnya, kerap kali membuat anganku berkelana entah ke mana. Bagiku, senja selalu mengingatkan aku pada banyak hal dan mengubah perasaanku menjadi melankolis.

Aku tidak mengerti, mengapa banyak sekali para perangkai kata dan pencinta diksi mengabadikan senja pada tulisan mereka. Apa karena senja begitu memesona? Apa karena senja begitu spesial dan membuat siapa pun terbawa perasaan karena kehadirannya? 

Apa pun itu, mereka punya alasan sendiri untuk menuangkannya dalam rangkaian kata maupun jalinan kalimat. Entah tentang pertemuan atau juga perpisahan. Ya, senja mampu menggambarkan suasana hati kita yang berlawanan. Tentang kebahagiaan dan kesedihan. Dua perasaan itu memiliki banyak makna dan kesan bagi yang mengalaminya.

Aku menyukai senja. Sangat menyukainya. Senja selalu mengingatkanku pada sepasang lansia yang berjalan bersama, bergandeng tangan melewati jalan setapak cinta mereka yang aku tahu pasti tidaklah mudah. Ada banyak onak dan duri menghalangi langkah mereka. Begitu banyak kesusahan dan kesesakan hidup yang telah mereka lewati bersama. Ada banyak air mata dan tawa bahagia yang telah mereka bagi bersama.

Kelak, apa aku bisa seperti mereka? Menggengam erat sebuah kesetiaan. Menjaga dan tidak mengizinkan siapa pun yang berusaha melepasnya.

Senja selalu menyimpan banyak cerita. Selalu saja tentang pertemuan dan perpisahan. Senja mengingatkan aku bahwa akan ada hari esok menantiku. Senja juga menjadi pengingat bagi siapa pun untuk segera kembali ke rumah. Bertemu orang terkasih dan melepas penat setelah seharian bekerja dan melakukan aktivitas.

Jangan tanyakan mengapa aku sangat menyukai senja. Mungkin juga karena senja begitu indah dan memukau mata. Padahal, semua orang tahu bahwa senja hadirnya hanya sesaat. Keindahannya pun hanya bisa aku nikmati dan kagumi sesaat. Aku tidak peduli itu.

Seperti juga kehidupan ini, tidak selamanya manis, indah, dan menyenangkan. Akan datang masa saat aku merasa sedih, kecewa, dan terluka. Aku mempelajari itu dari senja. Karena senja, aku menyadari bahwa tidak ada yang abadi di muka bumi ini. Aku hanya perlu mensyukurinya.

Mungkin kamu pernah merasakan kehadiran seseorang yang membuatmu bahagia. Kalian pun berjanji untuk selalu bersama hingga senja. Setia, saling mendukung, dan menguatkan dalam segala hal. Lalu, takdir berkehendak lain, kalian tidak bisa bersama menuju senja.

Ketika senja kenangan tentang dia menyeruak di ingatanmu. Semua kenangan manis yang telah kalian lalui bersama. Tentang janji manis yang kalian buat berdua, tentang rumah cinta yang telah kalian rancang bersama dan akan kalian huni bersama buah hati kalian kelak.

Sesaat kemudian kamu menyadari bahwa dirimu sudah menangis mendapati kenyataan bahwa senja telah berganti malam. Merenggut semua keindahan yang pernah kamu miliki bersama dia. Hanya rasa getir yang tertinggal di hatimu. Kamu hanya mampu tersedu mengingat semua kenangan manis itu pun telah pergi bersamanya.

Kamu masih belum percaya dan sulit menerima, buku kehidupan tidak menuliskan kalian untuk bersama. Ya, senja terlalu menyedihkan bagi kamu yang tengah patah hati. Kehilangan seseorang yang pernah mengisi ruang kosong di hatimu.

Senja juga menyadarkan aku tentang satu rasa. Tentang kerinduan. Pada seseorang dengan mata segaris yang pernah memenuhi ruang kosong di hatiku. Sosok dengan tatapan fajar pagi yang pernah melumpuhkan dan menghangatkan hatiku. Dulu. Masih adakah rasa itu?

Aku menyukai senja, bahkan tergila-gila padanya. Bagaimana denganmu? Apa arti senja bagimu?(alp)



Baca Juga: Aku, Dia, dan Aroma Petrikor


Sumber gambar: Pixabay/Free-Photos






Tidak ada komentar:

Posting Komentar