Jumat, 16 Januari 2015

Ketika Ibu Mogok Cerewet (Suara Merdeka 30 Maret 2014)

Cernak ini dimuat di Suara Merdeka 30 Maret 2014
"Lukas, tasmu jangan kamu lemparkan ke kursi! Jangan lupa juga simpan sepatumu di lemari sepatu!" teriak Ibu dari dapur begitu Lukas baru saja menyandarkan tubuhnya di kursi.  

Lukas urung melempar tasnya ke kursi. Ukh, Ibu membuat siang yang panas dan gerah semakin menambah panas hati Lukas saja dengan teriakannya yang selalu melarang dan menyuruh ini-itu. Setahu Lukas, ibu teman-temannya tidak ada yang secerewet Ibu.

"Lukas ...!" teriak Ibu lagi.

"Iya, Bu, iya. Lukas heran, deh, setiap hari Ibu selalu saja mengomel dan melarang ini-itu. Ibu teman-teman Lukas juga nggak ada yang secerewet Ibu," gerutu Lukas, menyela kata-kata Ibu seraya bangkit begitu melihat Ibu muncul di ambang pintu.

Ibu menghela napas dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Lukas memang sulit diatur, sembrono, dan pemalas, sehingga kerap membuat Ibu kesal. Entah bagaimana lagi agar Lukas berubah. Padahal, Ibu melakukannya untuk kebaikannya juga, tapi Lukas selalu menganggap Ibu cerewet. Lukas harus kena batunya dulu agar sadar, batin Ibu. 

Seperti biasa, Lukas selalu sibuk bila hendak pergi sekolah.  

"Ibu, kaus kakiku di mana?" tanya Lukas berteriak.

"Kemarin kamu simpan di mana?" Ibu balik bertanya seraya menyiapkan sarapan pagi, tapi ibu tidak mengomel dan ikut sibuk mencari seperti biasa.

"Sudah aku ...," Lukas tidak melanjutkan kata-katanya. Seingatnya, ia melempar sepatu dan kaus kaki begitu saja di bawah tangga. Lukas segera mencari dan benar, kaus kaki tergeletak di sana, namun yang sebelah lagi entah ke mana. Waktu Lukas jadi tersita untuk mencarinya.  

"Kak Lukas mencari apa?" tanya Ribka, sang adik yang telah rapi dengan seragam dan tas sekolah.  

"Kamu lihat kaus kaki Kakak?"

"Kemarin Ribka lihat Snowy sedang menggigiti sesuatu .... Jangan-jangan itu kaus kaki Kakak. Apa yang bagian jarinya berwarna biru itu, Kak?"

"Iya, benar. Sekarang di mana?"


Ribka menggelengkan kepalanya dan bergegas menuju ruang makan karena ibu memanggilnya untuk sarapan.

Lukas cemberut sembari meggerutu. Terpaksa ia memakai kaus kaki yang lain karena tidak ada lagi waktu untuk mencari. Apalagi hari ini ia tidak mau dihukum karena terlambat. Snowy memang keterlaluan, senang menggigiti kaus kaki sampai berlubang. Apa Snowy pikir kaus kaki adalah tulang! batin Lukas. Mungkin karena itu Ibu selalu marah bila Lukas tidak menyimpan sepatu dan kaus kaki di lemari sepatu.
  
"Lukas, bolehkah aku melihat tugas prakaryamu? Kalau aku sih membuat gerobak dorong dari kayu," tanya Bimo sambil memperlihatkan hasil karyanya ketika Lukas baru saja menaruh tas di bawah meja.

Lukas tersentak. Minggu lalu Pak Gondo memberi tugas membuat ketrampilan dari kayu dan ia tidak ingat sama sekali. Bagaimana mungkin ia bisa lupa? Biasanya ibu selalu mengingatkan. Wajah Lukas pucat seketika dan tertunduk lemas. 

Terbayang sudah di matanya hukuman apa yang akan ia terima. Selama ini Lukas selalu dijadikan contoh sebagai murid yang rajin dan disiplin. Tapi dalam minggu ini, ia sudah dua kali lalai mengerjakan tugas sekolah. Alangkah malu saat ia harus berdiri di muka kelas. Mau disembunyikan di mana muka ini? batin Lukas.

"Ibu, aku tidak menemukan pinsil warnaku, apa Ibu melihatnya?" Lukas menatap Ibu dengan harap-harap cemas. Dua bola matanya nampak berkaca-kaca. Lukas berusaha menahan tangisnya. Hari ini ada pelajaran menggambar dan Ibu Rasti menyuruh para murid membawa pinsil warna. Lukas tidak mau dimarahi di depan teman-teman sekelasnya bila tidak membawa pinsil warna.

"Mana Ibu tahu. Kamu sendiri tidak suka kalau Ibu mengingatkanmu agar meletakkan dan menyimpan barang-barang yang sudah kamu pakai di tempatnya, 'kan?"  

"Iya, tapi hari ini ada pelajaran menggambar dan harus menggunakan pinsil warna," ujar Lukas dengan suara lirih.

"Pinjam saja milik temanmu."

Lukas terdiam. Ibu sama sekali tidak membantunya mencari. Jika tidak segera ke sekolah ia bisa terlambat. Lukas pergi ke sekolah tanpa semangat. Tanpa pinsil warna miliknya, mana mungkin hasil gambarnya akan memuaskan. Pinsil warnanya adalah pinsil warna yang bagus, hadiah dari Om Yosef saat pergi ke luar negeri. Pasti harganya juga mahal. 

Lagi pula, meminjam milik temannya tidak mungkin sebebas menggunakan miliknya sendiri. Lukas mendesah sedih. Menyesali sikapnya yang sembrono dan pelupa. Mungkin karena itu Ibu selalu mengingatkannya, selalu cerewet padanya.   

Sejak mengatakan Ibu cerewet tidak seperti ibu teman-temannya, Ibu tidak lagi melarang dan memerintah ini-itu. Ibu tidak lagi mengingatkannya untuk belajar atau menanyakan apa ia sudah mengerjakan PR atau belum? Ibu tidak lagi mengingatkannya untuk mengecek ulang peralatan sekolah yang harus ia bawa atau menanyakan ada tugas apa dari sekolah dan lain-lain. Ibu juga tidak pernah berteriak atau marah ketika ia tidak menyimpan tas, sepatu atau barang-barang yang sudah ia pakai pada tempatnya. 

Semula Lukas merasa senang tidak mendengar teriakan, larangan dan omelan Ibu yang seperti petasan itu. Tapi, gara-gara Ibu tidak cerewet lagi, hari-hari Lukas menjadi kacau. Semuanya tidak berjalan dengan baik. Ternyata, Ibu melakukan semua itu karena tahu yang terbaik untuknya.  

Lukas menyesal, sangat menyesal. Pulang sekolah nanti ia akan meminta maaf pada Ibu dan memeluknya. Lukas hanya ingin Ibu yang dulu. Ibu yang cerewet, yang melakukan yang terbaik untuknya.* (@analydiap07)


2 komentar:

  1. Hai Ana! :D

    Tulisanmu sudah baik dan sangat rapi. Cara penuturannya juga menarik. Sepertinya kamu memang spesialis cerita pendek ya? Pasti akan semakin menarik juga kalau kamu bereksperimen dengan cerita-cerita panjang. :D

    Oh ya, aku owner dari CariPenulis.com (@CariPenulis_Com on Twitter)

    Semangat menulis! ;)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih @NayaCorath, senang bisa kenal kamu. Perbendaharaan kata, EYD dan gaya berceritamu pun oke. Saya harus masih terus belajar. Soal eksperimen dengan cerita panjangmemang keinginan saya, tapi si malas ini sulit dikendalikan. He he he. Semua pasti ada waktunya, 'kan.
      Semangat menulis juga!

      Hapus