Minggu, 21 Juni 2015

Omelan yang Manis (Padang Ekspres 7 Juni 2015)

Padang Ekspres

Mei menggeliat dengan malas. Untuk kesekian kali ia menguap lebar-lebar. Matanya masih terasa berat untuk dibuka. Andai Bunda tidak membangunkannya.

Mei heran, sepertinya Bunda tidak suka melihat anaknya beristirahat dengan tenang dan nyaman. Sepagi ini, saat ayam jantan baru saja berkokok, Bunda selalu saja mengusiknya dengan celoteh panjang yang selalu berulang setiap pagi. Mirip petasan! Tidak terkecuali hari Minggu. Uh, kapan sih Bunda membiarkan anaknya menikmati tidur nyaman sampai siang?

"Bangun, Mei, jangan malas begitu, Nak! Nanti rejekimu dipatok ayam. Malu dong keduluan bangun sama ayam," Bunda menepuk pantatnya berkali-kali. Melihat Mei tidak bereaksi, Bunda menarik selimut Mei

"Kalau Mei nggak mau bangun, Bunda akan memotong uang sakumu," ancam Bunda sedikit kesal.

"Mei masih ngantuk, Bun," rajuk Mei. Tadi malam ia belajar lebih malam dari biasanya karena hari ini ada ulangan Matematika.

"Sudah Bunda bilang berkali-kali, kalau ada ulangan jangan belajar mendadak. Apa yang Bunda bilang kamu nggak pernah nurut," Bunda mengomel.
"Soalnya, Bunda selalu menyuruh Mei bangun pagi terus. Mei jadi sering ngantuk dan nggak punya waktu untuk belajar," kilah Mei membela diri.

"Sekarang Mei pintar sekali mencari-cari alasan. Ayo, bantu Bunda menyiapkan sarapan, setelah itu jangan lupa beres-beres rumah! Dengan banyak bergerak badanmu akan terasa segar."

Dengan setengah hati Mei bangun dan membereskan tempat tidurnya. Bunda pasti mengomel bila melihat Mei meninggalkan kamar tanpa merapikan tempat tidurnya dulu. Bunda selalu begitu. Selalu menyuruh Mei melakukan ini-itu. Semua demi kebaikan Mei. Selalu itu alasan yang Bunda katakan. Huh, Bunda memang ibu paling kejam sedunia!

Mei tidak mengerti, mengapa Bunda selalu menyuruhnya bangun pagi. Mereka hanya tinggal bertiga. Bunda pasti bisa mengerjakan semua pekerjaan rumah sendiri. Padahal, bila mau, Bunda bisa punya pembantu. Eh, Bunda lebih memilih anak sendiri sebagai pembantu. Mei kecewa. Bunda tidak seperti ibu teman-temannya.




Saat teman-temannya sedang tertidur lelap, Mei harus membantu Bunda menyiapkan sarapan dan menu makan untuk sehari, lalu menata piring dan gelas untuk sarapan. Bukan itu saja, bila sudah beres membantu Bunda di dapur, Mei juga harus menyapu atau mencuci piring. Sangat menyedihkan! Mei merasa seperti Upik Abu dalam dongeng Cinderella! Mei merasa anak paling malang di dunia!

                                                                     ***

Sudah tiga hari Bunda diopname karena demam berdarah. Saat hari pertama Mei bangun dan menyadari tidak ada Bunda yang membangunkannya, Mei merasa ada yang hilang tidak mendengar omelan dan nasihat Bunda. Perasaan Mei tidak nyaman. Anehnya, walau tidak ada Bunda yang membangunkan, Mei selalu saja bangun jam 04.30. Dan, Mei tidak merasa nyaman tanpa melakukan pekerjaan rumah yang setiap pagi selalu ia lakukan saat ada Bunda. Bedanya, ia tidak perlu membantu Bunda di dapur karena Ayah membeli makanan matang. Piring dan gelas yang Mei cuci pun tidak banyak. Menyapu dan beres-beres rumah Mei lakukan seperti biasanya. Semuanya sudah Mei kerjakan sebelum Mei bersiap mandi dan ke sekolah.

"Ayah, kapan Bunda pulang?" tanya Mei saat sarapan pagi ini. 

Ayah berhenti mengunyah rotinya dan mengambil gelas susu yang dibuat Mei lalu meminumnya sebelum menjawab.

"Hari ini Bunda pulang."

"Mei boleh ikut jemput Bunda ya, Yah?" Mei menatap Ayah penuh harap.

"Mei kangen sama Bunda?"

Mei mengangguk.

"Nggak ada Bunda rasanya sepi. Nggak ada yang mengomel dan menasihati Mei lagi karena belum bangun," keluh Mei, muram.

Ayah tersenyum tipis.

"Berarti kalau Bunda menyuruh Mei selalu bangun pagi dan mengerjakan pekerjaan rumah setiap hari nggak membuat Mei merasa jadi anak paling malang dan menderita sedunia lagi, dong?"

Mei menggeleng, menatap Ayah dengan mata berkaca-kaca.

"Sebenarnya, Mei kangen omelan Bunda. Mei lebih senang ada Bunda walau harus bangun pagi dan mengerjakan ini-itu. Omelan Bunda membuat rumah tidak sepi dan penuh warna."

Ayah tergelak halus kemudian manggut-manggut.

"Bunda pasti bangga padamu karena Mei telah menjadi gadis kecil yang mandiri. Bunda juga kangen sama Mei," Ayah menatap Mei lembut.

Mata Mei kembali berkaca-kaca. Ayah mengusap kepalanya dan mengelus rambutnya dengan sayang.

Kini, Mei menyadari bahwa didikan Bunda selama ini yang sering membuat ia merasa menjadi anak paling malang dan menderita di dunia ternyata membuatnya menjadi anak yang mandiri.

"Ayah bangga padamu, Nak. Walau masih kecil kamu sudah bisa diandalkan. Kamu sudah membuktikannya saat Bunda sakit."(@analydiap07



Tidak ada komentar:

Posting Komentar