Kamis, 19 Mei 2016

Perempuan di Tempat Gelap (Taman Fiksi Edisi 12 / April 2016)

Taman Fiksi 

Seharusnya kulepas saja. Sejak awal, ia tidak menyembunyikan statusnya sebagai suami dengan dua anak. Bukankah itu sebuah alarm peringatan agar aku segera menyingkir dari kehidupannya? Namun, kubiarkan sel-sel di tubuhku kocar-kacir saat bersamanya. Aku tidak mampu mengendalikan perasaanku untuk berhenti dan berharap menjadi perempuan yang menarik untuknya. Keinginan liar yang seharusnya tidak kubiarkan tumbuh dan berakar kuat di hatiku.

Dua gelas lemon tea tersaji di depan kami. Dia terlihat begitu tenang, duduk tepat di hadapanku. Matanya teduh dengan sepasang alis tebal yang tumbuh berjauhan; pertanda bahwa jodohnya orang jauh; bukan dengan kerabat dekatnya, batinku sibuk menyesalkan keputusannya menerima saja dijodohkan. Mungkin dia akan lebih bahagia dan tak akan mengalami situasi seperti saat ini. Melakukan pertemuan diam-diam di belakang lelaki yang punya peran besar dalam kehidupan kami. Seakan ada dorongan kuat yang membuatku menatapnya dengan berani untuk kemudian sibuk menilai dan membandingkan dirinya denganku.

Pembawaannya begitu tenang, bahkan terlalu tenang untuk seseorang yang mendapati kenyataan suaminya memiliki kehidupan tersembunyi dengan perempuan lain. Dia terlalu lembut, juga cukup manis. Sesaat, benakku dihinggapi keraguan bahwa Bara tidak mencintainya. Mungkin, Bara terlalu serakah tidak mau melepas salah satu dari kami.

"Aku melihat namamu di ponselnya," ujarnya menyeruak keheningan yang mengungkung kami sejak awal bertemu. Nyaris tanpa emosi sehingga membuatku kagum. Atau ngeri?

Perempuan mana pun pasti akan bertindak sama saat melihat pasangan hidupnya menerima pesan mesra di ponselnya. Bisa kubayangkan kebohongan apa yang Bara lakukan saat harus menerima teleponku di tengah malam, ketika aku disergap rasa rindu mendengar suaranya, merasa kesepian karena kami harus mencuri-curi waktu untuk bertemu dan melepas rindu. Sejujurnya, aku senang melakukan kegilaan ini. Aku senang membayangkan Bara ketakutan. Ada perasaan puas dan senyum lebar karena membuatnya tidak tenang. Entah mengapa, mungkin karena cemburu, tanpa beban aku melakukannya.

"Tak kusangka kamu akan menerima ajakanku untuk bertemu. Tidak seperti perempuan lain yang langsung menghindar dan menyangkal hubungan gelapnya, kamu sangat berbeda." Matanya menatapku dengan saksama. Aku tidak melihat sinar amarah atau luka di matanya. Atau mungkin sudah habis sehingga ia tidak merasakan apa-apa lagi. Seperti Bara, kurasa dia pun mampu bertahan dalam rumah tangga tanpa cinta dengan alasan yang sama. Demi nama baik keluarga, demi menjaga ikatan persaudaraan yang sangat dijunjung tinggi dalam adat leluhur.

"Jangan pernah berpikir atau berharap aku akan meninggalkannya." Bara menatapku dengan ekspresi siap menanggung konsekuensi dari pernyataannya. Ia akan berubah tegas dan galak bila aku mulai mengungkit soal kelanjutan hubungan kami. Dua tahun bersamanya, membuat aku semakin sulit untuk melepasnya. Cinta di hatiku tumbuh dan berakar semakin kuat. Merasa sebagai perempuan yang dicintainya, aku mulai serakah dan tidak tahu malu; menginginkan dia hanya untukku. Hanya milikku. Aku ingin menjadi perempuan yang layak ia gandeng ke mana pun tanpa rasa takut, cemas, atau malu. Aku ingin menjadi perempuan yang layak ia tampilkan.

"Naya istri dan ibu yang baik. Kami pun masih kerabat dekat. Ayah dia adalah adik ibuku. Dia menantu yang baik dan kesayangan mereka."

Bara seakan tidak pernah peduli perasaanku. Betapa sering ia membicarakan istri dan anak-anaknya. Dulu, aku masih bisa berpura-pura menjadi pendengar yang baik untuk setiap celoteh tentang keluarga kecilnya. Namun, sekarang aku pun rindu memiliki keluarga kecil sendiri.

"Tapi, kamu tidak mencintainya," sanggahku.

"Karena itu kamu harus puas dengan cinta yang kuberikan."

"Aku ingin punya anak darimu."

Sesaat, kulihat wajahnya membeku. Aku sempat tegang karenanya. Aku rasa, aku memang sudah tidak waras mengharapkan yang tak mungkin darinya. Sesuatu yang sejak awal tidak dapat ia berikan padaku.

"Sudahlah, untuk saat ini aku tidak mau membicarakan ini." Bara meraih lenganku dan memelukku erat. Cara dia untuk mengakhiri perdebatan agar tidak berkepanjangan. Biasanya aku akan merajuk dan mendiamkannya. Namun, selalu saja aku yang akhirnya mengalah dan mengajaknya berbicara karena dia bukan lelaki romantis yang pandai membujuk atau merayu dengan kata-kata manis. Aku rasa, aku memang tergila-gila padanya dan sangat takut kehilangan dia. Namun, egoku sebagai perempuan yang dia cintai secara sembunyi menginginkan pengakuan dari keluarga dan orang-orang di sekitar kami. Aku merasa layak mendapatkannya. Pada saatnya nanti dia harus memilih

Tujuh tahun sudah, sejak dia menerima perjodohan itu, dia berharap cinta akan datang seiring waktu. Saat Amangboru dan Namboru memintanya untuk menikah dengan anak mereka, dia punya keyakinan mereka akan menjaga dan menerimanya sebagai keponakan dan menantu harapan mereka. Apalagi setelah dia memberikan dua orang cucu lelaki yang selalu menjadi harapan seluruh keluarga Batak. Dua bocah kecil yang membuatnya tenang karena dia tahu Bara tidak pernah mencintainya sebagai perempuan. Ia menghargainya sebagai ibu dari anak-anaknya. Anak-anak yang kemudian membawa kebahagiaan sendiri sebagai seorang perempuan yang tidak dicintai. Dia cukup bersabar, bahkan berbesar hati untuk menerima semua itu. Keyakinan bahwa tak ada perempuan lain dalam keluarga kecil mereka membuatnya tenang. Selain tidak ada yang berubah dengan sikap dan tingkah laku Bara, sejak menikah hingga sekarang.

"Timo dan Kiel sangat menyayangi papanya," ujarnya pelan, tetapi penuh tekanan. Dia hanya ingin menegaskan bahwa kedua bocah kecilnya akan terluka bila ayahnya meninggalkan mereka untuk perempuan lain. Dia tidak melihat reaksi apa pun pada wajah perempuan yang dicintai suaminya. Ia masih muda dan cantik. Karena itukah Bara mencintainya? Dengan apa yang ia miliki, ia bisa mendapatkan lelaki lajang sukses. Bukan lelaki beristri dengan dua anak. Bukan dengan merenggut keutuhan keluarga lain.


"Kami saling mencintai."

"Sudah berapa lama ...?"

"Hampir empat tahun."

Dia menatap perempuan di hadapannya dengan gamang. Sementara silet tengah menggurat hatinya. Rasanya tak tertahankan. Betapa pandai Bara menyimpan semua itu darinya. Atau karena dia sendiri yang tidak peka? Menganggap semuanya baik-baik saja. Begitu yakin kehadiran dua orang anak, hubungan keluarga, dan dukungan mertua tidak akan merenggut keluarga kecilnya. Sedangkal itukah ia menilai hati seseorang? Seharusnya ia tidak terlalu yakin dan percaya.

Bara begitu menyayangi buah hati mereka. Melihat keakraban ayah dan anak saat mereka bersama menghadirkan kebahagiaan tersendiri di hatinya. Ia sadar, dua bocah itulah yang mengikat Bara tetap bertahan di sisinya. Walau ada perempuan lain dalam kehidupan suaminya. Ah, tujuh tahun yang sia-sia karena hanya berisi harapan kosong. Cinta yang tumbuh seiring waktu, hanya miliknya sendiri. Sementara setengah dari usia pernikahan yang tampak baik-baik saja, diam-diam dihuni perempuan lain.

Dia pasti terpukul mengetahui suaminya yang selalu perhatian serta sayang pada anak-anaknya ternyata punya perempuan lain. Apalagi suaminya belum pernah semalam pun tidak tidur di rumah. Aku sering iri padanya. Meski Bara tidak mencintainya, tapi dia selalu berusaha menjaga sikapnya di depan ibu dari anak-anaknya. Bara begitu menjaga kenyamanan hidup keluarganya, terutama anak-anaknya. Bara tidak mau keluarganya hancur hanya karena hubungan kami.

"Aku tidak bisa melepasnya. Hal itu tidak akan terjadi." Selalu itu yang ia katakan bila aku menuntut ketegasannya.

"Jadi, aku memang tidak berarti bagimu?" sentakku parau.

"Selamanya aku hanya tersembunyi di tempat gelap." Dadaku teramat sesak. Rasa kecewa, marah dan terluka berbaur jadi satu dan siap meluap. Selama empat tahun aku selalu berusaha menahan diri. Tepatnya harus tahu diri, siapa aku dan di mana posisiku. Apalah artinya menjadi perempuan yang dicintai. Orang hanya menganggapku perempuan tidak tahu malu. Perusak rumah tangga orang, perenggut kebahagiaan orang dan perempuan perebut suami orang. Pada akhirnya yang aku terima hanya cibiran sinis, tatapan jijik serta rasa takut aku akan mengganggu suami mereka.

Bara selalu memilih diam menanggapi kekesalan dan kekecewaanku. Bila sudah begini, pertemuan hanya diisi dengan keheningan. Sibuk dengan pikiran dan perasaan kami. Alhasil, yang mendongkol aku sendiri karena Bara memilih pulang lebih cepat. Karena itu, aku mencoba lebih menahan diriku. Menahan perasaanku untuk sebuah kebersamaan. Keluarganya lebih penting dari rasa cinta di antara kami.

Entah apa yang membuatku begitu berani dan cenderung percaya diri. Sempat terpikir bahwa aku sudah kehilangan akal sehatku ketika menyanggupi permintaannya untuk bertemu. Aku hanya berpikir, mungkin inilah saatnya semua yang tersembunyi harus dibuka dan diungkap. Aku sudah siap dengan segala kemungkinan yang akan terjadi. Pun bila Bara akhirnya pergi dari kehidupanku (sesungguhnya, aku masih ragu dan takut bila ternyata dia pergi dari hidupku).

Harus kuakui, dia sangat pandai mengendalikan emosinya. Tidak sepertiku yang mudah meledak bila ada sesuatu yang mengganggu pikiran dan perasaanku, sesudahnya aku merasa lega. Kupikir dia akan meradang mengetahui pengkhianatan yang dilakukan suaminya. Entah itu memaki, menghujat, mengutuk atau apa pun itu sekadar untuk melampiaskan perasaan hatinya. Aku sudah siap dengan situasi yang akan terjadi. Pun yang terburuk. 

Aku memang perempuan tidak tahu malu. Sebagai perempuan dewasa aku tahu perasaan yang kumiliki salah. Namun,  pikiran dan tindakanku tidak pernah sejalan. Sudah jelas aku salah besar mencintai dan mengharapkan seseorang yang sudah nyata milik perempuan lain. Namun, aku sulit membunuh perasaan ini. Bukan karena dia siapa, tapi karena situasi yang membuat kami bertemu, bersama setiap ada kesempatan, dan merasakan sel-sel di tubuhku kocar-kacir saat bersamanya. Kebersamaan yang kemudian kurasakan tidak pernah cukup. Bukan lagi sekadar mengagumi dan mencintai, tapi sudah menjurus pada serakah. Hasrat untuk memilikinya pun timbul seiring waktu.

Sudah satu jam berlalu. Kafe tempat kami bertemu sudah mulai dipenuhi pengunjung. Kami lebih banyak diam, menolak mengganggu keheningan yang memenuhi udara. Keheningan yang menyiksa, terutama untukku. Dalam kapasitasku sebagai perempuan lain yang tumbuh dalam kehidupan rumah tangganya, aku memilih menunggu. Sebagai seorang perempuan aku tidak ingin menyakiti perempuan lain, pun tidak mau disakiti. Apa yang harus aku lakukan? Yang pasti, aku tidak bisa melepas lelaki yang kucintai begitu saja. Aku bukan perempuan baik hati; dengan besar hati mau mengalah untuk perempuan sainganku. Meskipun aku dalam posisi yang salah. Aku selalu berpikir bahwa segala sesuatu yang kita lakukan atas dasar cinta tidak ada yang salah. Aku pun ingin bahagia.

"Tetaplah menjadi kekasih gelapnya. Cuma itu yang bisa kuberikan padamu. Aku mampu bertahan untuk anak-anakku. Aku tahu, dia menikahiku bukan karena cinta." Suara patahnya mengoyak keheningan. Matanya menatapku dengan ekspresi siap menanggung konsekuensi dari pernyataannya.

Kepalaku terangkat, terkejut karena kalimat itu terucap dari bibirnya. Dia telah merendahkan diriku hanya untuk menjaga hati anak-anaknya. Tetap saja, dia yang memiliki apa yang ingin kumiliki. Kehormatan, keluarga yang terlihat utuh juga cinta, dan dukungan mertua. Sedang aku? Tetap sebagai sosok tersembunyi di tempat gelap. Lidahku terlalu kelu untuk berujar.

"Sudah waktunya. Aku harus menjemput anak-anakku."

Dia siap berdiri, tetapi aku menahan lengannya.

"Jangan maafkan aku. Jangan pernah memaafkan aku," ujarku sedatar mungkin. Aku hanya perlu mengatakannya. Semuanya terucap tanpa dapat kucegah. Mungkin untuk banyak alasan sementara dia hanya menarik sudut bibirnya sedikit.

"Andai bukan kamu perempuan lain dalam kehidupan suamiku, mungkin aku bisa menyukaimu. Kurasa kamu orang yang menyenangkan sebagai teman," ujarnya kemudian, dingin.

Sedetik, aku terpaku. Ada ketulusan dalam suaranya. Namun, semua itu tidak akan mengubah kenyataan yang ada. Aku tetap hanya benalu dalam kehidupan rumah tangganya dan menumpang bahagia di atas penderitaannya.

"Aku harap kita tidak akan bertemu lagi. Anggap pertemuan hari ini tidak pernah terjadi."

Mataku tidak kuasa untuk tidak memandang kepergiannya hingga hilang ditelan keramaian. Sebilah pisau berujung runcing tertanam di dadaku. Rasanya tak tertahankan. Aku selalu berharap lelaki yang kucinta dan mencintaiku mau berkorban untukku. Untuk hubungan kami. Bukankah atas dasar cinta dia patut memperjuangkannya? Sebuah lubang besar menganga di dadaku. Apa yang aku dapatkan dari kebersamaan kami yang berkemas cinta? (@analydiap07)







5 komentar:

  1. Balasan
    1. Terima kasih sudah baca. Maaf baru bisa balas.����

      Hapus
    2. Ah, Bang Pebrianov, mengapa dari awal tidak mencantumkan nama? Wkwkwk. Jadi, aku enggak tahu. Maaf.����

      Hapus
  2. Balasan
    1. Jawabnya selalu begitu. Enggak di Kompasiana, enggak di Pm. Wkwkwk.😁😄

      Hapus