Senin, 30 Maret 2020

Nat dan Jari-jarinya (Solopos 18 Oktober 2015)

Cerpen ini dimuat di Solopos edisi 18 Oktober 2015

“Nat, tunggu!” panggil Haura, berusaha menghentikan langkah Nat yang tergesa begitu keluar kelas. Namun, Nat seolah berusaha menghindarinya.

“Aku harus segera pulang, Ra! Ibuku sedang sakit!” Nat balas berteriak.

Haura hanya bisa menghela napas panjang. Sebenarnya, ia juga merasa tidak enak hati dan segan untuk menanyakan, apa yang dilakukan Nat saat ulangan Matematika tadi? Haura tidak percaya, Nat melakukan kecurangan itu. Meskipun ia tahu Nat lemah dalam pelajaran Matematika, tetapi Haura tidak suka bila sahabat baiknya itu menyontek saat ulangan.

***

Untuk kesekian kalinya Haura menghela napas panjang. Tentu saja semua tingkah lakunya itu tidak lepas dari perhatian Ibu. Sejak pulang sekolah tadi Haura tampak gelisah dan murung. Tidak biasanya Haura yang ceria dan banyak bicara jadi pendiam. Haura pasti punya masalah di sekolahnya, pikir Ibu.

“Ada apa, Ra? Ada masalah di sekolah?” Ibu bertanya lembut.


Haura menatap Ibu kemudian menggeleng lemah. Ia tampak ragu-ragu mengungkapkan kegelisahannya. Apalagi ini tentang sahabat baiknya. Ia tidak mau Ibu melarangnya berteman dengan Nat, setelah tahu apa yang dilakukan Nat. Uh, Haura jadi pusing memikirkannya.

“Kamu tidak melakukan kesalahan yang membuat gurumu marah dan menegurmu, ‘kan, Nak?” Ibu menatap Haura lekat-lekat.

Haura mendongak. Sesaat kemudian ia menggeleng. Haura masih ragu untuk cerita.

“Lalu?”

“Kalau ada teman yang nyontek dan kita melihatnya, apa yang harus kita lakukan, Bu?” Akhirnya keluar juga apa yang mengganjal di hati Haura.

Ibu mengerti maksud pertanyaan Haura. Kepalanya manggut-manggut.

“Kamu bisa menegurnya baik-baik,” ujar lbu kemudian.

“Kalau dia menyangkal lalu marah dan memusuhi kita?”

“Berarti dia bukan teman yang baik. Teman yang baik akan selalu menerima bila ditegur dan diingatkan ketika berbuat kesalahan.”

Haura terdiam. Menyimpan baik-baik setiap pekataan Ibu di benaknya. Apa pun yang terjadi dan bagaimana sikap Nat nanti, Haura akan menegur dan mengingatkan kecurangan yang telah Nat lakukan. Mungkin, ia akan kehilangan teman karenanya.

***

“Aku tahu apa yang kamu lakukan saat ulangan Matematika kemarin,” ujar Haura langsung saat Nat baru saja tiba di gerbang sekolah. Haura mengajak Nat ke tempat sepi.

“Maksud kamu apa?” Alis mata Nat hampir bertaut karena bingung.

“Seharusnya kamu tidak melakukannya. Bagaimana kalau ketahuan Pak Edo? Yang malu dan rugi kamu juga, ‘kan ?” lanjut Haura pelan dan hati-hati.

“Aku nggak ngerti apa yang kamu bicarakan?” Geleng Nat mulai kesal mendengar bicara Haura yang berbelit-belit.

“Sebagai sahabatmu aku nggak suka kamu nyontek saat ulangan Matematika kemarin.” Suara Haura, kecewa.

“Apa?!” Nat mendelik. Haura telah menuduhnya menyontek. Mungkin, karena Nat berkali-kali melihat tangannya yang disembunyikan di bawah meja saat menghitung perkalian dengan jari-jarinya.

“Meskipun aku lemah dalam pelajaran Matematika, aku nggak akan melakukan perbuatan curang itu,” sanggah Nat dengan suara meninggi.

“Tanteku dari Bandung mengajariku perkalian dengan jari. Karena itu, aku bolak-balik melihat tanganku. Bukannya aku menuliskan sesuatu di tanganku,” urai Nat sewot.

“Maksudmu?” Kening Haura berkerut.

“Untuk menghafal perkalian di atas lima aku agak sulit mengingatnya. Karena itu, aku menggunakan jari-jariku untuk menghitung perkalian dengan cepat. Dengan mempertemukan dua telunjukku, aku sudah tahu hasilnya delapan puluh satu. Bagitu juga bila kupertemukan jari tengahku dengan jari manis, aku bisa langsung tahu hasilnya lima puluh enam.” Nat sibuk menjelaskan cara menghitung dengan jari-jarinya pada Haura, membuat Haura terkesima.

Untuk sejenak Haura tidak mampu berkata-kata. Apa semudah itu belajar perkalian dengan jari?

“Nat, kamu nggak bohong, ‘kan?” tanyanya masih belum percaya.

“Tentu saja. Kalau kamu mau aku bisa mengajarimu.”

Haura masih takjub dan tidak tahu harus bicara apa, hingga ....

“Nat, maafkan aku, ya? Aku salah sudah menuduh kamu nyontek.” Suara Haura lirih, penuh penyesalan. Tangannya terulur ke arah Nat. Namun, Nat hanya membiarkan tangan Haura menggantung di udara. Ia hanya menatap wajah Haura. Ia tahu, Haura bermaksud baik. Yang membuat Nat kesal, kecewa, dan agak marah, Haura langsung main tuduh.

“Aku mau memaafkan kamu, tapi dengan syarat ....”

Haura menatap Nat dengan harap-harap cemas.

“Kamu harus mengajari aku Matematika. Kamu tahu,’kan kalau aku kurang dalam pelajaran ini?”

Kepala Haura mengangguk cepat. Dengan senyum lega ia memeluk Nat.

“Terima kasih, Nat. Aku selalu ingin punya teman belajar.”

“Kita bisa bersaing dengan sehat, ‘kan? Siapa tahu aku bisa mengalahkanmu.” Nat mengedipkan matanya.

“Tentu saja. Apalagi sekarang kamu punya cara jitu belajar perkalian dengan jari,” balas Haura.

“Ya, ya, ya, kamu benar.” Nat tersenyum lebar. Ia meraih lengan Haura dan menggandengnya. Bel masuk sudah berbunyi.(alp)



** Jadi, ini adalah cerpen lama yang baru aku ketahui jejaknya sehingga baru sekarang aku posting.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar