Rabu, 10 Desember 2014

Setia Memeluk Kenangan (Situs Hutanta)

Sampai kapan pun, aku tidak bisa membencinya. Perasaan yang kumiliki tentang dia begitu kuat. Dia bisa saja menjadi bagian masa lalu dari hidupku. Tapi, aku tidak pernah membiarkannya terjadi. Mencintainya adalah kesalahan terindah yang tidak harus kusimpan bersama lipatan waktu.

Mungkin, di matanya aku adalah wanita dengan karakter rumit. Kuakui, aku adalah wanita yang sangat sulit menerima kebaikan dan perhatian orang lain. Aku selalu curiga bila orang bersikap baik dan ramah padaku. Menurutnya, aku terlalu tertutup dan mandiri. 

"Aku tidak pernah bisa memahamimu," ujarnya dengan kepala menggeleng. Saat itu kami usai menonton sebuah film romantis. Tujuan awalnya mencari majalah yang memuat tulisanku. Tiba-tiba saja, setengah memaksa aku membujuk dia untuk menemaniku menonton. Keberanian yang kudapat setelah mengenalnya cukup lama dan kami mulai dekat.

"Dari luar kamu terlihat angkuh dan kuat. Kenyataannya, kamu mudah sekali tersentuh oleh hal-hal kecil yang buat orang lain biasa saja," lanjutnya dengan seringai menggoda, ketika melihatku berkali-kali menyeka air mata selama menonton.

"Filmnya memang bagus dan menyentuh, kok," kilahku, menutupi rasa malu. Aku sendiri heran, aku mudah sekali larut dengan tema cerita tentang hati. Sama larutnya bila aku disodori novel-novel detektif dan misteri, sulit berhenti dan selalu lupa waktu. Sedang dia lebih tertarik dengan buku-buku yang menginspirasi, buku rohani dan tentu saja buku tentang dunia kedokteran. Dunia kami memang berbeda. Namun, mengapa dia begitu mudah masuk dalam hidupku? Lalu masuk ke dalam hatiku. 

Aku mengenalnya saat acara Natal di kampus kami. Dia seniorku, tapi beda fakultas. Mengenalnya membuat aku belajar banyak hal. Bersamanya aku menjadi pribadi yang lebih terbuka dan tidak sekaku dulu lagi. Mungkin karena aku tumbuh dan hidup dalam keluarga yang jauh dari harmonis dan sangat sederhana. Aku mengatakan sangat sederhana karena kami tidak pernah mengalami kekurangan makanan. Cuma untuk kebutuhan di luar itu, seperti sekolah, memang perlu penghasilan tambahan.
  
Kepahitan hidup, perjuangan untuk bertahan hidup serta keinginan agar bisa tetap sekolah hingga kuliah, tidak kudapat dengan mudah. Uang bukan hal yang utama dalam hidup tidak berlaku bagiku. Untungnya sejak SD aku sudah rajin menulis puisi dan berlanjut ke cerpen saat aku SMP hingga sekarang. Dan aku mensyukuri semua itu karena setiap bulan selalu ada saja tulisanku yang dimuat di media. Lebih dari cukup untuk membayar uang semester, uang laboratorium, ongkos dan biaya untuk buku serta fotokopi. 

Padanya, aku tidak malu bercerita segala hal tentang keluargaku. Dia pendengar yang baik untuk setiap curhatanku. Tentang impianku, harapanku dan kesesakan hidup yang kurasakan. Bila tidak ada dia, aku sering gelisah dan merasa ada yang hilang. Sesuatu yang sulit kuhindari karena aku menjadi tergantung padanya. Dan aku pun merasa nyaman bersamanya.  

"Tidak apa-apa, Benaya. Tidak apa-apa. Menangislah, karena semuanya akan baik-baik saja."  

Aku ingat setiap kalimat yang meluncur dari bibirnya saat aku tidak mampu menahan air mata yang menggantung di kelopak mata karena Tuhan memanggil ibuku untuk selamanya. Untuk bernapas pun rasanya sulit karena dadaku sesak menahan tangis. Saat itu dia memelukku dan membiarkan kepalaku lekat di dadanya. Saat itulah aku merasakan perasaan asing yang perlahan-lahan tumbuh di hatiku.

Setelah itu, jam demi jam, hari demi hari dan rangkuman waktu membuat dia kerap menyelinap di pelupuk mata dan pikiranku. Namanya mulai mengisi buku harianku. Menghias lembar demi lembarnya dengan cerita tentang dia. Sekaligus merasakan tersiksanya mencintai orang yang selalu ada di dekatku, sementara aku tidak tahu, seperti apa perasaannya padaku.

Namun, alam tak berpihak padaku. Atau aku memang tak layak memiliki lelaki sepertinya.  

"Namanya Mauri. Setelah wisuda nanti kami akan bertunangan," ujarnya tanpa peduli perubahan wajahku. Mungkin dia terlalu bahagia sehingga tidak menyadari perubahan sikapku. Untuk beberapa saat hanya keheningan yang memenuhi udara hingga ....  

"Kamu tidak memberiku selamat?" sentaknya kemudian.  

"Oh, selamat!" Aku tergagap dan menekan rasa kecewaku dengan dada sesak. Dua tahun mengenalnya, baru sekarang aku tahu dia bersama seseorang.  

"Kamu tidak pernah cerita." Suaraku lirih, menyimpan luka.  

"Kamu tidak pernah bertanya. Kamu selalu menolak membicarakan hal pribadi," sahutnya.  

Aku terdiam. Semua yang dia katakan benar. Aku terlalu takut membicarakan hal pribadi. Aku terlalu takut bila harus menghadapi kenyataan pahit. Aku tidak mau kehilangan kebersamaan dengannya. Aku tidak mau tidak bahagia bila tidak bersamanya. Dan aku tidak mau kehilangan lelaki sebaik dia. Aku juga takut terluka. Takut menghadapi kenyataan bila dia sudah memiliki seseorang. Semuanya kulakukan untuk kenyamanan diriku sendiri. Akhirnya, apa yang aku takutkan terjadi juga. Sebilah pisau kurasakan mengiris hatiku. Sakitnya tak tertahankan. Sakit pertama yang kurasakan karena menyukai seseorang.

Aku berusaha mengerti dan mencoba menerima. Lelaki seperti Benua memang harus berdampingan dengan seseorang yang sepadan dengannya. Aku terlalu naif, membungkus perasaan cintaku dengan kemasan pertemanan. Aku tidak mungkin berada di sisinya lagi. Aku tak berhak, bahkan tak pantas menjadi bagian dari hidupnya lagi. Tak mungkin kubiarkan diriku tumbuh diam-diam dalam hubungan mereka. Dengan menjauh darinya, aku berharap bisa mengurangi rasa sakit yang kurasakan. Namun, keputusan yang kuambil semakin membuatku terluka dan rasanya lebih menyakitkan. 

"Sulit sekali bertemu denganmu. Sejak tulisanmu semakin sering dimuat di berbagai media, kamu seperti wartawan yang dikejar deadline saja," protesnya setiap kali aku menghindarinya.  

"Biaya kuliah dan hidupku 'kan tidak murah. Selagi banyak ide yang berseliweran di kepalaku, aku harus menuangkannya dalam bentuk tulisan." Aku berdalih meyakinkan.  

Sejak kuputuskan menjauh darinya, hari-hariku cuma kuisi dengan menulis. Tulisanku semakin bertebaran di berbagai media. Dari cerita anak, cerita remaja, cerita wanita dewasa dan artikel-artikel ringan. Aku pun tertantang menulis cerpen utnuk koran Minggu. Tenyata menulis cerpen untuk koran Minggu tidak semudah yang aku kira. Naskahku kerap ditolak, namun tidak mematahkan semangatku. Aku belajar dan terus belajar. Koran apa pun yang biasa memuat cerpen Minggu selalu kubaca dan kupelajari. Cerita apa yang disukai redaktur dan pembacanya kuamati. Hal-hal mendasar semacam karakter, setting, plot, gaya bahasa dan juga penggunaan ejaan yang benar kupelajari juga. Aku jadi belajar banyak dari keterpurukanku karena menyimpan cinta pada tempat yang tak seharusnya.  

Tulisanku banyak bertutur tentang ketidakharmonisan, kepahitan, dan kekecewaan. Tema cerita yang kutulis pun lebih banyak tentang perjalanan hati dan bagaimana tersiksanya mencintai seseorang yang tidak ditakdirkan untuk kita. Semua karena aku tidak bisa berhenti berpikir tentang Benua.

Ketika dia diwisuda, aku hanya memberinya selamat. Permintaannya agar aku ikut merayakan kelulusannya bersama Mauri dan beberapa teman akrabnya kutolak halus. Dia agak marah dan kecewa. Aku punya alasan untuk itu. Aku takut tidak bisa mengendalikan perasaanku. Saat berada di dekatnya sel-sel di hatiku selalu kocar-kacir dan tak bisa kukendalikan.

Aku masih tidak mampu mengendalikan sel-sel di hatiku, saat ini. Saat dia ada di dekatku, duduk di hadapanku, setelah sembilan tahun berlalu. Bagiku, Benua tidak hanya sebuah nama, tapi pergulatan hati yang melelahkan. Menguras pikiran dan perasaan.  

"Aku ada seminar di sini. Rasanya tak percaya saat kulihat namamu terpampang di depan akan me-launching novel tebarumu. Selamat, kamu berhasil mencapai apa yang kamu impikan sekian lama." Dia berujar semringah begitu melihatku.  

Aku masih tertegun, masih sibuk meredam riak di dada.  

"Kamu ... sangat berbeda dengan gadis dua puluhan yang kukenal dulu." Matanya menatapku dengan saksama. Tetap hangat, berpijar dan hidup.  

Raut wajahku memanas seketika. Aku masih saja kikuk dan salah tingkah mendengar pujian darinya. 

"Kamu pun jauh berbeda dari pemuda yang kukenal sebelas tahun lalu. Perutmu mulai membuncit. Mauri pasti melayanimu dengan baik," balasku berusaha mencairkan suasana. Ada nyeri yang menggigit saat kusinggung nama wanita lain. 

"Bagaimana denganmu? Sulit sekali menghubungimu. Saat merayakan kelulusanku, saat pertunangan, dan saat aku menikah pun kamu tidak datang. Perlu waktu lama untuk mengerti, seberapa dalam aku melukai hatimu," ungkapnya mengejutkan.  

Jantungku serasa berhenti sesaat dan lidah yang mendadak kelu. Alhasil, hanya kesunyian yang menyeruak di udara. Detik demi detik berjalan terasa lambat hingga ....

"Anakmu sudah berapa?" tanyaku mengoyak keheningan. Kuberanikan diri menatapnya lebih lama.  

"Anakku sudah dua. Sepasang. Mereka kembar," sahutnya, kemudian tertawa melihat ekspresi wajahku yang terbeliak. Di matanya kulihat pijar hidup yang membuatku iri. Sembilan tahun berlalu, aku masih setia memeluk kenangan dan membiarkan diriku dalam kesendirian dan kesunyian. Dia hidup bersama gelak tawa kedua buah hatinya dan pelukan hangat wanita terkasih. Tiba-tiba, sesuatu terasa menusuk dadaku. Dia begitu dekat, tapi tak terjangkau. Lukaku rasanya berdarah lagi. Di hatiku masih ada getar cinta untuknya.  

"Bagaimana denganmu? Ada seseorang?" tanyanya kemudian.  

"Dulu, tapi dia bukan takdirku." Aku mencoba tersenyum. Aku tidak tahu, apa dia tahu orang yang kumaksud.  

"Sulitkan untukmu melupakannya?" Dia menatapku dengan saksama. Cukup lama.  

Sangat sulit, tapi kalimat itu hanya sampai di tenggorokanku saja. Itu karena aku tidak merasa lelah memeluk kenangan tentangnya.  

"Tidak berusaha untuk melupakannya?" kejarnya. 

"Mungkin aku akan mencobanya." Akhirnya aku mampu juga berujar.  

"Apa kabar Mauri sekarang? Mauri pasti kewalahan mengurus kalian bertiga." Aku mencoba mengganti topik pembicaraan.  

"Bisa kamu bayangkan. Belum lagi kesibukannya melayani di Puskesmas. Untung ada omanya anak-anak yang menjaga mereka dengan senang hati." Dia tertawa sendiri membayangkan keluarga kecilnya. 

"Kalian pasti bahagia," ujarku lirih.  

"Semua orang layak bahagia. Kamu juga. Percayalah, cinta itu alasan untuk bertahan hidup." Nada bicaranya sangat tegas. 

"Cinta juga memiliki jalannya sendiri untuk bahagia."  

Dia memang selalu optimis. Sosok yang selalu kukagumi. Darinya aku belajar banyak hal dan menerima banyak hal. Dia membuatku menyadari bahwa sikap manis, perhatian yang berlimpah, serta kebaikan seseorang tidak selalu tentang cinta eros. Lalu kusadari, aku tidak memberi apa pun padanya. Karena hati yang ingin kuberikan padanya, dia sudah memilikinya.

"Jangan pernah menghilang lagi. Tetaplah menjalin hubungan," pintanya ketika rekan-rekan dokternya menghubunginya untuk kembali ke Bandung.  

"Salam untuk Mauri dan anak-anakmu." Aku lega karena suaraku tidak menyimpan getar. Dia mengangguk kecil. Tersenyum tipis dengan tatapan hangat. 

"Mauri kagum membaca tulisan-tulisanmu di majalah wanita. Dia bilang, kamu wartawan dan penulis hebat."

Mulutku setengah terbuka. Aku masih terpaku, aku masih terkejut dan juga takjub mendengarnya, lalu ....

"Benaya ... maafkan aku," ujarnya sebelum berlalu. Makna yang terkandung di dalamnya begitu banyak.  

Tubuhku terpaku, membeku. Terlalu kelu untuk berujar. Hanya dada dan mataku yang menghangat seiring dengan sesak yang memenuhi dada. Dalam keburaman mataku, aku masih berusaha melihatnya sampai dia benar-benar hilang dari jangkauan mataku.

Sama seperti sembilan tahun lalu, senja ini, aku kembali melihatnya berlalu. Meninggalkan jejak kenangan di hatiku. Aku mendesah. Mengapa begitu sulit menghapus dia dari hati dan ingatanku. Selalu.(@analydiap07)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar