Rabu, 19 Juni 2019

More Than Words - Stephanie Zen (Resensi Buku - Penakata)



If God wants it to be, it will be. If not thats’s not what you need (hlm. 88)


Judul Buku: More Than Words
Pengarang: Stephanie Zen
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Genre: Metropop
Tebal: 228 halaman
Tahun Terbit: Maret 2015
ISBN: 978-602-03-1355-9

Blurb


Marvel Wongso punya segalanya. Muda, cerdas, anak orang kaya.

Rania Stella Handoyo kebalikan dari semua itu. Murid beasiswa, sederhana, berusaha bertahan hidup di Singapura dengan tiap lembar dolar yang dimilikinya
.
Mereka menyimpan rasa untuk satu sama lain, tetapi tidak berani mengungkapkannya. Ketika berhasil terucap pun, yang satu selalu menganggap yang lainnya tidak bersungguh-sungguh.

Dikejar keterbatasan waktu, mampukan Marvel dan Rania memaknai cinta itu lebih dari sekadar kata-kata?


Sinopsis


Marvel (20 tahun) dan Rania (19 tahun) adalah dua anak muda Indonesia yang menuntut ilmu di Singapura. Mereka menjadi dekat dan saling mencintai karena tergabung dalam satu komunitas pelayanan di gereja yang sama. Meskipun mereka saling mencintai, tetapi untuk bisa menjadi sepasang kekasih adalah sesuatu yang sangat sulit untuk mereka wujudkan. God’s Love, gereja yang menaungi mereka membuat peraturan ketat bahwa pacaran boleh mereka lakukan bila mereka sudah mantap menuju ke jenjang pernikahan. Pacaran adalah hal yang serius, bukan main-main. Jadi, tidak ada acara menggaruk tanah karena patah hati. Tidak ada tebar pesona dan  flirting terhadap lawan jenis.

Marvel tidak bisa mengikuti peraturan itu. Sikon memaksanya untuk segera menyatakan perasaannya pada Rania bila dia tidak ingin kehilangan gadis itu. Marvel sangat yakin bila Rania yang pintar, baik, sederhana adalah orang yang tepat untuk menjadi pasangan hidupnya. Namun, Marvel juga ragu dan bingung seandainya ia mengungkapkan isi hatinya dan Rania menolaknya. Selain itu, Marvel pun merasa egois bila harus “mengikat” gadis itu dan meninggalkannya. Hubungan jarak jauh tidak semudah itu.

Sementara Rania yang anak beasiswa dan dari keluarga sederhana harus hidup irit selama tinggal di Singapura, merasa tidak percaya diri cowok seperti Marvel akan mencintainya. Status ekonomi dan sosialnya dengan Marvel bagaikan bumi dengan langit. Kenyataan ini pula yang membuat Rania ragu menerima Marvel seandainya cowok itu menyatakan cintanya.

Mampukah mereka mewujudkan keinginan mereka untuk bersatu dan mengatasi segala masalah yang ada? Jawabannya, baca sendiri.

Ini untuk kedua kalinya saya membaca novel More Than Words. Pertama baca tiga tahun lalu dengan meminjam dari perpustakaan digital. Kalau lihat pembacanya lumayan juga, sudah 900 lebih. Tiga tahun lalu saya harus mengantre untuk membaca novel ini karena banyak yang meminjam.

More Than Words adalah karya kesekian dari Stephanie Zen yang saya baca. Penulis kelahiran Surabaya, besar di sana, dan sampai sekarang masih menetap di Singapura ini telah melahirkan cukup banyak karya, terutama yang bergenre teenlit. Sebenarnya tidak ada yang istimewa dari cerita ini. Bahkan, bisa dibilang ringan, layaknya kisah remaja dalam novel teenlit. Tidak ada konflik berat yang menguras pikiran dan hati antara Marvel dan Rania, serta tokoh lain dalam novel ini. Namun, jalinan kisah dalam novel ini dirangkai dengan manis dan mengalir dengan baik. Sayang saja kalau saya harus melewatkan cerita ini. Alasan itu juga yang membuat saya tertarik membacanya kembali untuk mengikuti challenge Penakata.

Oya, untuk sampul buku saya rasa sederhana dan menarik. Suka saja. Untuk alur, menggunakan alur maju sehingga ceritanya mudah diikuti. Sedangkan sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang orang pertama secara bergantian, dari sudut pandang Marvel dan Rania.

Banyak pesan moral yang saya dapat dari cerita ini. Bagaimana mereka melibatkan Tuhan dalam setiap keputusan yang mereka ambil. Bagaimana doa menjadi pegangan mereka yang mengandalkan Tuhan dalam mengatasi masalah. Hal yang saya suka dari buku ini dan membuat saya tidak bisa kasih komentar adalah konsep pacaran dalam komunitas mereka hanya boleh dilakukan bila serius menuju pada pernikahan, bukan sekadar bersenang-senang. Layak deh sebagai anak muda untuk membacanya karena banyak nilai positif di dalam cerita ini. Tentang hubungan asmara yang benar, komitmen yang harus dijaga dan dipertanggungjawabkan, serta tunduk pada orang tua.

Rasanya manis sekali membayangkan cowok semuda Marvel benar-benar melibatkan Tuhan dalam kehidupannya, begitupun dengan Rania. Saya rasa, siapa juga cewek di dunia ini yang tidak ingin punya pasangan seperti Marvel. Nah, ini yang mengganjal di benak saya. Rasanya ragu dan salut juga sih bila ada cowok semuda Marvel sudah punya pikiran dewasa, santun, tidak sombong, perhatian dan peduli, kuliah di luar negeri, bahkan bersiap mengambil master-nya di Amerika. Wah wah! Yang menjadi pertanyaan saya, Tuhan kirim di belahan dunia mana cowok model Marvel?

Sayangnya, penerbit sekelas GPU pun tidak lepas dari typo, bahkan tidak sesuai dengan KBBI dan PUEBI. Lumayan banyak juga yang tertangkap mata saya.
  • Orang tua (Seharusnya dipisah, tetapi GPU selalu dirangkai. Mungkin selingkung di sana)
  • Jomlo, bukan jomblo
  • Khawatir, bukan kuatir
  • Turkuois, bukan turkois
  • Perhelatan, bukan perlehatan (hlm. 95)
  • Mencelus (hlm. 112 – rancu sekali)
  • Transpor, bukan transport (hlm. 116)
  • Ra-sakan (hlm. 130, seharusnya tanpa tanda hubung)
  • Memberi tahu, bukan memberitahu (hlm. 160, 199)
  • Frasa, bukan frase (hlm. 168)
  • Plinplan, bukan plin-plan (hlm. 202)
  • Penggunaan elipsis (...) dari awal sampai akhir cerita, tidak didahului spasi.
  • Penggunaan kata “dan” diletakkan pula pada awal kalimat.
  • Kata penghubung “tapi” yang baku “tetapi”, seharusnya menggunakan “namun” karena menghubungkan antarkalimat, bukan intrakalimat.

Beberapa kalimat favorit dalam novel ini:

  • She did a simple thing for me. Just washed the spoon and gave it to me without I’m asking for it. She knows what I need even before I said it. I’m just twenty years old, thank you, but you don’t need to be thirty five to know that you’ve probably met the one you want to spend the rest of your life with, right? (hlm. 13)
  • She’s extraordinary. She deserves no ordinary man like me. (hlm. 79)
  • Marvel yang selalu nyambung sama lo, yang saat kalian berdua ngobrol kalian bisa lupa waktu dan lupa sekeliling, seolah kalian punya dunia sendiri. Berapa banyak cowok seperti itu yang bisa kita jumpai dalam hidup kita, Ran? Nggak banyak. (hlm. 87)
  • Jangan nilai diri lo berdasarkan apa kata dunia atau kata orang lain. (hlm. 87)
  • Bagaimana lo tahu cinta itu pantas diperjuangkan? Bagaimana lo tahu air mata yang lo dapat karenanya nggak akan melebihi senyum dan tawa yang lo terima darinya? (hlm. 105)
  • Lo yang memutuskan apakah hubungan itu layak dijalani atau nggak sebelum lo memulainya. Faktor yang menentukan adalah dengan siapa lo memilih untuk menjalani hubungan ini? (hlm. 106)
  • Cowok sangat rentan selingkuh. Ketika mereka punya pacar, mereka butuh fisik pacar mereka ada, bukan hanya hati .... Keberadaan, bagi sebagian besar mereka haruslah solid, bukan abstrak. (hlm. 183)
  • Dan jika kamu sudah menemukan seseorang yang dengannya kamu tahu bisa berkomitmen, bahwa perasaanmu terhadapnya melebihi ketertarikan fisik ataupun emosional, berdoalah untuknya. Bersungguh-sungguhlah terhadapnya. Yang paling penting, tunjukkan kesungguhanmu kepadanya. (hlm. 190)

Mereka percaya bahwa Tuhan akan membuat segala sesuatu indah pada waktunya. Saya pun percaya. Amin.

Akhir kata, maaf bila ada salah kata atau kata-kata yang menyinggung perasaan.

Rating 3/5.*



Tidak ada komentar:

Posting Komentar