Selasa, 03 Januari 2017

Cerita di Balik "Minka dan Buah Atap"

Ide cerita ini melintas begitu saja di kepala saya. Mungkin juga karena sebuah kebiasaan. Ya, kebiasaan membuat manisan buah atap ini selalu saya lakukan dua kali dalam sebulan. Karena itu, jalan ceritanya sudah menempel di kepala saya. Hanya tinggal saya wujudkan dalam bentuk tulisan saja. (Senangnya kalau ide datang tak diundang seperti ini)☺

Berhubung Mama saya sudah memasuki masa lansia, akhir-akhir ini sering mengeluh karena merasakan ngilu dan sakit pada tulang dan sendinya. Seorang teman Mama di komunitas lansia menyarankan Mama saya untuk mengonsumsi buah atap sebagai camilan (kudapan). Cukup lima belas buah sehari. Meskipun usia teman Mama saya sudah lewat 70 tahun, tetapi beliau tak pernah merasakan dan mengeluhkan tulang serta sendinya. Masih kuat melakukan perjalanan jauh dan melakukan aktivitasnya sehari-hari. Sedangkan Mama saya sudah mulai menggunakan tongkat agar bisa membantu aktivitasnya sehari-hari. Terutama pada momen-momen tertentu atau acara khusus yang mengharuskan Mama saya hadir (Mama saya anak tertua).

Jika disuruh memilih antara memasak dan menjahit–dari kecil–pilihan saya selalu memasak. Saya memang lebih suka memasak (mencoba resep-resep baru atau membuat cookies). Jadilah saya yang turun tangan membeli buah atap ke pasar (sesekali adik, kalau di kepalanya lagi ada lingkaran serta sayap tak kasat mata di punggungnya) dan mengolahnya menjadi manisan atau minuman (resepnya tanya Opa Google). Karena saya punya akun Cookpad, tinggal search saja. Beres. 😊

Kembali ke "Minka dan Buah Atap". Cernak ini saya tulis tidak lebih dari satu hari. Saya tik di ponsel. Rencana awal ingin saya kirimkan ke Bobo. Tapi, terlalu pendek untuk Bobo, lagi pula masa tunggunya lama he he he (itu juga kalau dimuat). Kirim ke media daerah? Enggak deh! Kapok! Lalu, saya ingat Kompas Klasika dengan Nusantara Bertutur-nya. Saya belum pernah mengirim ke sana. Buat saya, menulis cerita sependek di NuBi, susah! Belum pernah coba. Saya juga ingin meninggalkan jejak di sana. Lalu, saya cari dan baca syarat-syaratnya. Ternyata, jumlah karakternya melebihi batas maksimum. Karena saya niat banget meninggalkan jejak di sana, saya edit lagi. Hampir lupa, NuBi harus selalu menyertakan lokasi. Saya tambahkanlah Pasar Antri, tempat saya biasa membeli buah atap. Beres. Transfer ke laptop. Koreksi lagi takut ada yang typo.

Tanggal 29 Oktober saya kirim, tanggal 31 dapat surel balasan dari Kak Wijy bahwa tulisan saya sudah diterima dan akan disampaikan pada editor NuBi. Tanggal 27 November dimuat (saya tidak berhasil mendapatkan bukti cetaknya, hiks). Tanggal 28 November mendapat surel konfirmasi dari Kak Wijy bahwa honor Minka dan Buah Atap sudah ditransfer ke rekening saya. Saya cek, sudah tercetak manis di rekening saya. Saya cuma bisa bilang, terima kasih Nusantara Bertutur. Senang bisa menulis dan meninggalkan jejak di sana. Satu hal lagi yang bikin saya senang karena keinginan saya untuk mengabadikan tiga nama di cernak itu terpenuhi. Minka, Kane dan Malea, nama-nama yang saya catut dari film dan buku yang pernah saya tonton dan baca.💙💙💙

Tertarik mengirim tulisan ke sana? Tanya ke Opa Google. Opa yang murah hati ini akan membantumu.

Selamat membaca cernak saya! Selamat berkarya juga! Semangat!!! (@analydiap07)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar