Selasa, 02 April 2019

Rasa yang Tidak Pernah Sampai ke Hatinya (IDN Times)

IDN Times

Yang sempurna menurut mata kita, tidak harus kita miliki

Menjelang pukul tujuh malam dia tiba dengan membawa plastik berlogo sebuah restoran cepat saji ternama. Hal yang kerap dia lakukan bila kami lembur untuk menyelesaikan laporan penerimaan dan stok barang. Saat menjelang akhir tahun, biasanya perusahaan tempatku bekerja selalu melakukan stock opname. Tempat kerjaku ini punya ritme kerja yang tidak tentu. Menjelang order baru turun ke produksi, kesibukanku kerap menguras waktu dan pikiran. Terutama saat datang barang.

"Makan dulu, biar aku saja yang menyelesaikannya. Kamu perlu makan untuk mengembalikan staminamu," ujarnya sembari mengambil alih tumpukan laporan stok barang di hadapanku.

"Kamu sendiri?" Aku menatapnya sekilas dan segera memalingkan wajahku dengan cepat sebelum ia melihat wajahku yang selalu memerah bila ada di dekatnya.

"Sudah, tadi di mobil."

Aku mengambil makanan yang ia bawa, tetapi tidak menghentikan pekerjaanku. Aku biasa mengerjakan sesuatu sembari makan. Dia mendelik dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Aku tidak bisa lembur lebih dari jam delapan," ujarku memberi alasan.


"Bukannya ada mobil perusahaan untuk antar jemput?"

"Rumahku jauh, kasihan sopirnya."

"Kamu bisa ikut mobilku."

"Bukannya rumah kita berlawanan arah?" Aku menatapnya tak percaya.

Dia cuma tersenyum tipis seraya mengangkat bahunya. Dadaku berdesir halus karenanya. Sudah empat bulan ini ia menjadi konsultan di tempatku bekerja. Namanya Adrian. Ia hanya datang seminggu sekali. Sejak kedatangannya kemari, jantungku selalu berdegup lebih cepat dari biasanya dan aku selalu berharap Selasa adalah besok. Entah mengapa, di mataku ia begitu menarik. Aku sendiri bingung, tidak biasanya aku langsung tertarik dan menyukai seseorang yang baru kukenal. 

Setiap melihat Adrian, perasaanku selalu sulit kukendalikan. Ada hasrat yang menurutku tidak tahu malu saat berada di dekatnya. Aku selalu berharap ia melingkarkan lengannya di bahuku atau membayangkan dia menggandeng tanganku ketika kami keluar makan siang bersama. Keinginan yang benar-benar tidak masuk akal, tetapi selalu membuatku tersipu-sipu dan bahagia membayangkannya.

Aku mulai menyimpan sosoknya di hatiku setelah kami sering melakukan pekerjaan bersama. Itu karena pekerjaan kami saling berkaitan, aku adalah kepala gudang pusat dan dia perlu data akurat untuk semua barang yang datang dan keluar dariku. Namun, sejauh ini aku hanya bisa menyimpan perasaanku ini dalam hati saja. Aku hanya bisa mencintainya diam-diam. Mungkin karena kodratku sebagai perempuan melarangku untuk mengungkapkan perasaanku dengan gamblang. Meski zaman sudah berubah, tetapi pola pikirku masih konvensional. Aku merasa tidak malu karenanya.

"Aku dengar dia sudah punya kekasih." Letta, teman karibku dari bagian ekspor impor, berbisik tepat di telingaku saat Ci Lusi memperkenalkannya pada kami.

Aku berlagak tidak mendengarnya.

"Aku dengar juga ia akan segera menikah," lanjut Letta membuat telingaku panas.

"Jangan suka bergosip." Letta berhasil memancing reaksiku.

"Itu yang kudengar."

"Seandainya dia punya kekasih pun apa urusannya dengan kita?"

"Kalian akan sering kerja bareng, hati-hati saja," godanya.

"Hei, apa hubungannya denganku?" tanyaku dengan mimik sedatar mungkin.

"Aku hanya mengingatkanmu saja. Jangan pernah jatuh cinta pada pria yang sudah memilih di mana hatinya berlabuh karena kudengar dia pun telah bertunangan."

"Sssttt ... berisik! Jangan suka mencampuri urusan orang lain." Aku berusaha mengakhiri percakapan. 

Letta memang biang gosip.Namun, untuk gosip mengenai Adrian, aku terlalu takut untuk mendengarnya. Mungkin karena aku sudah tertarik saat pertama melihatnya.

Selama tujuh bulan mengenal Adrian dan cukup sering melewatkan waktu dengannya, aku tidak pernah mendengar dia membicarakan seseorang yang dekat dengannya atau secara tidak sengaja mendengarnya berbicara dengan seorang perempuan saat bertelepon. Jika dia memang telah bertunangan, aku tidak melihat ada cincin yang melingkar di jarinya! Untuk alasan apa pula dia mengelabui orang lain? Ukh, seharusnya aku tidak perlu pusing memikirkannya! Membuat perasaanku jadi gelisah dan tidak nyaman saja.


Aku jadi ingat saat pertama kali aku tertarik dan menyukai seseorang. Jika tidak salah saat aku SMP. Orang itu adalah Obaja, pria dewasa pacar tanteku. Dia memiliki mata teduh yang memesona. Sulit sekali meredam perasaan sukaku padanya. Jantungku selalu berdegup lebih cepat dari biasanya setiap kali ia datang menemui tanteku. Berbagai cara aku lakukan agar bisa melihatnya. Bahkan, dengan mengintipnya saat mengobrol dengan tanteku. 

Bila kuingat-ingat kembali saat itu, aku merasa konyol dan bodoh. Syukurlah, mereka tidak berjodoh. Jika mereka jadi menikah, aku tidak tahu harus bersikap bagaimana.

***
Sudah dua minggu ini Adrian tidak datang. Berarti selama dua kali pertemuan ini aku tidak melihatnya. Aku sangat kehilangan dan merindukannya. Tidak ada yang bisa kutanya selain aku juga malu untuk menanyakannya. Andai aku tidak menyukainya secara diam-diam, tidak akan segelisah ini. Aku bisa meneleponnya dan menanyakan langsung padanya, tetapi statusku saat ini bukan siapa-siapa dia. Meski kami sering keluar makan siang bersama dan ia kerap mengantarku pulang bila kami lembur, semua itu karena pekerjaan.

"Jika kuhitung, entah sudah berapa kali kamu menarik napas terus. Ada apa, Ra? Akhir-akhir ini kamu sering gelisah dan enggak fokus dengan pekerjaanmu?" Letta menyentuh punggung tanganku sekilas. Tatapannya dalam, menanti jawaban.

Aku hanya melempar senyum tipis dan menggeleng. Mana mungkin aku cerita padanya. Mau ditaruh di mana mukaku?

***
Aku hampir tak percaya menatap sosok yang saat ini melenggang ke arahku. Tentu saja perasaanku meluap karena bahagia. Dua minggu ini aku sangat merindukannya. Benar-benar merindukannya.

Jantungku berpacu lebih cepat dari biasanya. Mukaku pun menghangat tiba-tiba. Entah karma apa yang tengah menimpaku sehingga aku begitu tergila-gila padanya. Seingatku, aku belum pernah menyakiti siapa pun. Putus dengan mantanku setahun lalu pun secara baik-baik, hanya karena dia pindah kerja ke luar kota.

"Aku mau mengambil laporan stock opname, sudah selesai, 'kan?"

Aku mengangguk gugup. Celakanya, tanganku pun ikut gemetar sehingga berkas yang kupegang terjatuh dan berserakan di mejaku. Wajahku pasti telah memucat, apalagi ketika dia membantu membereskan berkas yang berserakan.

"Kamu sakit?" tanyanya sembari menatapku.

"Maaf ... aku hanya tidak sempat sarapan," jawabku berbohong.

"Jangan dibiasakan." Ia tersenyum tipis.

"Dua kali pertemuan kamu tidak datang." Astaga! Sedetik kemudian aku menyesali mulutku yang lancang.

"Ada urusan keluarga."

Aku cuma manggut-manggut.

"Semuanya sudah beres, 'kan? Aku harus menyerahkannya segera ke accounting."

"Karena itu kamu datang pada hari Sabtu." Aku memberanikan diri menatapnya cukup lama.

"Hhmm .... Kalau begitu terima kasih dan sampai bertemu Selasa depan."

Aku hanya bisa menatap kepergiannya hingga lenyap dari jangkauan mataku. Ada rasa lega yang membuat rongga dadaku terasa lapang. Sampai bertemu Selasa depan, kalimat itu membuat perasaanku membuncah. Tanpa sadar kubuang napas panjang. Cukup keras hingga menarik perhatian Letta yang baru datang.

"Kamu pasti senang."

"Apa?" Mataku menyipit.

"Orang yang membuatmu gelisah. Kamu menyukainya, 'kan?"

"Sssttt ... hati-hati! Orang lain dengar bisa jadi gosip." Aku menyikut lengannya.

"Aku tahu kamu menyukainya. Karena menyukainya kamu jadi merindukannya saat dia tidak ada. Aku ...."

Sebelum ia menyelesaikan kalimatnya, tanganku membungkam mulut ceriwisnya.

"Baiklah, aku memang menyukainya. Puas?"

"Kenapa? Karena dia menarik dan tampan?"

"Yang kamu katakan termasuk di dalamnya," jawabku setelah berpikir sesaat.

"Tapi, apa yang menurut mata kita baik enggak selalu harus kita miliki, Ra."

Aku tidak menanggapi kata-kata Letta. Dengan segera kutinggalkan dia sendiri, sebelum ia menggodaku terus. Saat ini aku lagi bahagia dan berharap Selasa segera tiba.

***
"Jangan lupa datang dengan pasanganmu, ya," ujar Adrian sesaat setelah ia masuk ke ruanganku seraya menyerahkan sebuah undangan.

"Undangan siapa?" tanyaku berdebar. Perasaanku benar-benar tidak enak. Sesaat kutatap wajahnya. Ada binar bahagia di sana. Aku berusaha mengenyahkan perasaan tidak nyaman yang menyerbu tiba-tiba di hatiku.

"Aku dan Kanaya."

Aku tertegun. Seluruh persendianku terasa lemas. Sesuatu terasa menohok dadaku. Sakit dan membuatku sulit bernapas.

"Selamat." Dengan susah payah keluar juga ucapan itu dari mulutku.

"Terima kasih. Kamu harus datang, jangan sampai tidak."

Aku mengangguk lemah. Kuberikan senyum kecil. Senyum terburuk yang pernah kuberikan karena penuh kepalsuan. Andai tidak malu, saat ini tangisku pasti sudah pecah. Selanjutnya aku tidak ingin melihatnya pergi hingga kusadari seseorang menyentuh bahuku dari belakang.

"Meski sulit kita harus merelakan seseorang yang bukan takdir kita." Letta berujar pelan.

Hanya senyum patah yang bisa kuberikan sebagai ucapan terima kasih untuk penghiburan yang ia berikan. Sedetik kuhela napas panjang. Aku jadi teringat kata-kata Letta bahwa apa yang sempurna menurut mata kita tidak harus kita miliki.(alp)




Sumber gambar: Pixabay/Xusenru
19/10/19

Tidak ada komentar:

Posting Komentar