Selasa, 05 Maret 2019

Selalu Ada Orang Ketiga (IDN Times)

IDN Times

Keinginan serakah yang tidak tahu malu, memilikimu seutuhnya

Maika terperenyak, menahan napas, menatap nanar buku bersampul kulit cokelat di tangannya. Mengapa tidak dari dulu ia menyadarinya? Lagi pula, mengapa ia begitu tergoda membuka buku yang bukan miliknya? Kelancangan yang berbuah penyesalan karena saat ia menyadari, begitu banyak luka yang telah ia torehkan di hatinya.

Tahukah kamu, bagaimana rasanya mencintai seseorang tanpa dia tahu separah dan sedahsyat apa badai yang dia tinggalkan di hatimu? Kamu pasti tidak tahu karena kamu tidak pernah mengalaminya. Lelaki selalu datang dan pergi dalam kehidupanmu. Dengan mudah kamu mendapatkan dan menyerahkan hatimu pada lelaki yang sesuai dengan kriteriamu. Kamu memang tidak akan mengetahuinya, betapa tersiksanya mencintai orang yang setiap saat ada di dekatmu, bersamamu, sementara kamu tidak tahu sedalam apa perasaannya. Itulah aku, yang menyimpan cinta untukmu.

Kamu pasti ingat, apa yang tejadi saat Benua meninggalkanmu karena terpikat oleh perempuan lain karena dia sudah bosan denganmu dan menjadikan kedekatan kita sebagai alasan untuk meninggalkanmu. Seingatku, dia adalah lelaki ketiga selama kita kuliah.

"Dasar cowok sakit! Gampang sekali dia bilang putus karena ada cewek lain yang dia incar. Pakai alasan enggak suka dengan kedekatan kita lagi!” gerutumu dengan emosi meluap.

Ah, saat itu aku tidak bisa menutupi perasaan senangku karena akhirnya kamu menyadari bahwa Benua bukan lelaki yang baik. Dengan mudahnya dia pindah ke lain hati. Aku sempat iba melihatmu, tetapi dengan segera kubunuh perasaan itu. Untuk menghiburmu, aku langsung mengajakmu jalan-jalan ke mal dan menonton. Seperti yang biasa kita lakukan sebelum ada Benua, Nato, juga Gian. Lelaki yang pernah membuat perasaanku nelangsa karena mampu memalingkan hati dan perhatianmu dariku.

Kamu sering bertanya, mengapa aku tidak membuka hatiku untuk seseorang? Wajahku tidak buruk, otakku pun tidak di bawah rata-rata, aku baik, perhatian, dan aku juga cukup menarik. Itu penilaianmu tentang aku.

Bukannya aku tidak pernah berusaha untuk mencintai seseorang selain kamu, tapi sekuat apa pun aku berusaha mencintai orang lain, sekuat itu pula perasaan yang tumbuh di hatiku. Jangankan untuk memberikan hatiku pada orang lain, mendua pun sulit aku lakukan. Kamu adalah obsesiku. Sosok yang kupilih untuk kuberikan hati, bahkan hidupku.

Aku tidak tahu pasti, kapan perasaan asing ini mulai ada. Aku rasa sejak aku merasa kita saling mengisi, memiliki, dan berbagi banyak hal. Dirimu yang selalu terbuka padaku, selalu menempatkan aku dalam siklus kehidupanmu, membuatmu selalu bergantung padaku, menjadikan aku berarti di hidupmu.

Mungkin, aku salah membuat semua ini terjadi. Mungkin, aku salah ingin selalu ada dalam hidupmu. Mungkin, aku salah telah menyediakan waktuku untukmu berbagi cerita, mendengar keluh kesahmu, membiarkan bahuku kamu sandari, menyodorkan tisu tatkala kamu menangis, membantu menghapus air matamu, dan selalu ada di saat-saat terburukmu.

Kamu ingat 'kan saat kamu patah hati oleh Marko? Lelaki yang kamu harapkan dapat mengerti kamu, memahamimu dan jadi lelaki impian masa depanmu, ternyata terlalu banyak menuntutmu dan mau menjadikanmu sesuai dengan yang dia inginkan. Meskipun berat–aku tahu kamu mengambil keputusan dengan setengah hati–akhirnya kamu memilih meninggalkannya. Apa katamu waktu itu?

"Belum jadi suami sudah mengatur ini dan itu. Bagaimana kalau sudah jadi suami? Bisa-bisa aku enggak boleh ke mana-mana lagi,” ujarmu sewot.

Ah, aku masih tidak percaya, kegigihanmu selama ini untuk mempertahankan cinta kalian akhirnya menyerah juga. Padahal, sudah terlalu sering aku melihatmu bersabar dengan sikap egois Marko. Berapa ratus lembar tisu yang sudah aku sodorkan padamu saat kamu curhat tentang sikap Marko. Berapa puluh kali bahuku kamu jadikan sandaran saat kamu merasa lelah mempertahankan cintamu pada Marko yang tidak berimbang. Ya, tidak berimbang. Kamu lebih banyak berkorban untuk hubungan kalian. Marko terlalu banyak menerima dan kamu hanya memberi.

"Bian, terima kasih karena selalu ada untukku, bahkan di saat tersulit dan terburukku," ujarmu dengan suara lirih dan parau. Kamu menatapku dalam. Senyum tipis berusaha kamu ukir di sudut bibir indahmu, walau dipaksakan. Setelah sekian lama, kamu tak pernah berhenti membuat jantungku berhenti sesaat, lalu berdegup kencang.

Kata-katamu saat itu adalah kekuatan untukku. Keinginan untuk selalu melidungimu, menjaga dan membuatmu bahagia semakin tumbuh kuat di hatiku. Aku mau kamu hanya bergantung padaku, selalu mengandalkan aku. Tidak ada orang ketiga di antara kita. Tidak perlu ada Nato, Gian, Marko dan Benua. Begitu seringnya aku terlibat dalam kehidupanmu, bukan kamu saja yang jadi tergantung padaku. Aku merasa sesuatu telah tumbuh perlahan-lahan lalu berakar semakin kuat di taman hatiku.


Aku tahu, impian terbesarmu adalah menemukan belahan jiwamu. Impian sebagian besar perempuan di belahan dunia mana pun. Kamu ingin menjalani harimu bersama seseorang yang kamu cintai dengan bergandeng tangan menuju senja, menua bersama. Memiliki rumah mungil berhalaman luas serta rindang pepohonan yang menghiasi halaman belakang rumahmu, sementara dua buah hatimu bermain di sana. Matamu selalu berpijar saat mengatakan semua itu. Sementara aku hanya bisa menatapmu dengan pijar redup yang selalu kusembunyikan dengan memalingkan wajahku darimu. Rasanya ada silet yang menggurat hatiku. Aku tidak bisa memberikan semua itu. Aku tidak bisa mewujudkan impianmu. Aku tidak akan pernah bisa membuatmu bahagia. Kenyataan yang menyesakkan dada, sementara rasa yang kumiliki begitu kuat.

Tahukah kamu, seberapa besar keinginanku untuk membunuhnya? Sebesar itu pula keinginanku untuk memilikimu. Apalagi kamu selalu muncul di hadapanku. Aku sendiri heran, seberapa menyesakkan dadanya mencintaimu (tapi, aku tidak pernah merasa lelah untuk selalu mencintaimu), begitu aku melihatmu di hadapanku, perasaan itu sirna seketika.

Kamu begitu marah saat aku mengganti nomor ponselku. Sejujurnya, aku melakukannya agar bisa menjauh darimu, setelah tempat kerja yang berbeda membuat frekuensi pertemuan kita berkurang drastis.

"Kamu bosan, ya, selalu kurecoki dengan curhatanku? Kamu muak karena aku selalu melibatkanmu dalam masalah-masalahku? Iya, 'kan? Kamu enggak mau lagi jadi sahabatku?” suaramu meledak-ledak. Terdengar histeris di telingaku.

Tudinganmu itu membuat perasaanku sedih dan terluka. Kamu tidak tahu, betapa susahnya aku menghimpun keberanian untuk menjauh darimu. Kesadaran bahwa apa yang ada di antara kita adalah salah, tepatnya perasaan yang aku miliki. Menjadi bagian dari hidupmu adalah keinginanku. Keinginan serakah yang tidak tahu malu. Karena hasrat yang tumbuh di hatiku adalah memilikimu seutuhnya. Aku tekankan, tidak ada orang ketiga.

Maika, kamu ingat ‘kan saat kamu bilang Benua "sakit" karena menjadikan kedekatan kita sebagai alasan untuk meninggalkanmu dan berpaling pada perempuan lain? Semua yang dia tuduhkan adalah benar. Bukan dia yang "sakit", tapi aku. Aku memang sakit. Sakit karena tidak bisa membunuh perasaan cintaku padamu, sakit karena aku tidak senang, tidak rela, cemburu, dan terluka setiap kamu bersama seseorang, selain aku. Aku benci bila ada orang ketiga di antara kita. Andai aku hidup di zaman Tuhan menyatakan murkanya dengan menurunkan api untuk Sodom dan Gomora, aku pasti akan ada di sana karena aku menyimpan cinta pada tempat yang salah. Sangat salah!

Lalu, semuanya memang harus berakhir. Walau berat, aku harus menerimanya. Mungkin ini yang terbaik. Kamu menyampaikan berita bahagia itu. Wajahmu begitu berseri-seri, penuh dengan binar cinta yang selalu kulihat ketika kamu bersama Gian, Nato, Marko, dan Benua.

"Namanya Rafael. Ibuku yang merencanakan semuanya. Dia anak Tante Letta yang tinggal di Jerman. Ah, ... aku belum pernah sebahagia ini. Dia lelaki yang baik, mapan, dewasa, dan bertanggung jawab. Aku benar-benar mencintainya dan kami akan menikah."

Aku tergugu dengan napas tertahan. Sebongkah rasa cemburu yang bersarang di hati membuat aku kehilangan kata-kata.

"Kamu tidak ingin mengucapkan selamat dan memelukku, Bian?" sentakmu seraya merentangkan tanganmu.

"Selamat! Aku turut berbahagia," suaraku pelan, menyembunyikan getar.

Aku sudah biasa menyimpan perasaanku. Aku sangat pandai menyimpan perasaanku. Seperti yang selalu aku lakukan selama ini. Siap atau tidak, kamu pasti meninggalkanku. Kamu telah menemukan impian besarmu. Sementara aku, tetap setia memeluk kenangan tentangmu.

"Apa yang kamu baca, Sayang? Sejak tadi kulihat kamu hanya tercenung,” pelukan lengan Rafael dan ciuman kecil di kepalanya membuat Maika terlonjak. Hampir saja buku yang ada di tangannya terjatuh. Dia mendongak sembari mengembangkan senyum.

"Ini," Maika menunjuk buku di tangannya dengan dagu.

"Kurasa Bianca menjatuhkannya tanpa dia sadari saat mengantar kita ke bandara."

"Oh. Aku iri karena kamu punya sahabat dekat. Kurasa hidupmu menyenangkan karena punya seseorang yang selalu ada untukmu."

"Hmmm ...."

"Jangan sedih karena kamu masih bisa menghubunginya," Rafael menatapnya mesra.

"Aku enggak sedih karena aku memilikimu. Perasaanku saat ini benar-benar tidak bisa kuungkapkan dengan kata-kata. Aku merasa lega karena pencarianku selama ini sudah berakhir.”

"Benarkah? Sebaliknya aku malah sempat ragu saat Mamaku bilang kamu setuju dijodohkan denganku. Pikiran buruk berseliweran di kepalaku. Jangan-jangan, jangan-jangan ...," Rafael terkekeh dengan kerling menggoda.

Maika mendelik, lalu sibuk berusaha menancapkan jemarinya di tubuh suaminya. Sejenak ia menatap buku harian Bianca yang terjatuh dari pangkuannya. Ia mendesah. Sedikit pun ia tidak pernah berniat melukai Bianca. Begitu banyak yang telah Bianca berikan untuknya, sebanyak itu pula luka yang telah ia torehkan di hatinya. Maika berharap waktu akan membantu menyembuhkannya. Saat ini, hanya itu yang bisa ia lakukan.

Sekali lagi ia mendesah. Maafkan aku, Bianca karena selalu ada orang ketiga di antara kita. Aku sangat mencintai lelaki ini, bisik hatinya.(alp)



Sumber gambar: Pixabay/MabelAmber
02/03/19


Tidak ada komentar:

Posting Komentar